“Arya!”
Arya
yang sedang berjalan menuju sekolahnya di desa melihat ke belakang, ke arah
asal suara itu. Di sana ada Arga, pemuda pribumi dengan penampilan khas seorang
juara kelas; berpakaian rapi, rambut yang dibelah samping dengan rapi, dan memakai kacamata.
Arga adalah teman sekaligus sahabat Arya sejak dari bangku SMP.
“Halo,
Ga,” Arya balas menyapa Arga, dan menunggu Arga menyusulnya dalam perjalanannya
ke sekolah untuk menghadiri pengumuman kelulusan SMA. “Siap menerima pengumuman
kelulusan?”
“Alhamdulillah sudah, Rya,” jawab Arga.
“Kamu?”
“Siap,
Ga, tapi ga semangat aja kalau mikirin uda bakal lulus SMA.”
“Jadi
sudah yakin bakal lulus nih ceritanya?” goda Arga yang tersenyum jahil.
“Yee...
Jadi mentang-mentang aku bukan pemegang ranking di kelas, aku ga boleh optimis
kalau aku lulus nih?” Arya tergelak, sambil tangannya meninju bahu Arga.
“Ya
nggalah, Rya. Sensi amat sih jadi orang. Hahaha...” sahut Arga sambil memukul
pelan kepala Arya. “Arga salut aja sama kamu, Rya, bawaannya tenang aja. Bawaannya
optimis aja. Kaya’nya ga ada yang bisa goyangin kamu walaupun ditolak sama
orang sekampung.”
“Masa
sih, Ga?” Arya tersenyum setengah tidak percaya. “Padahal aku ngerasa justru
sebaliknya loh, Ga; buktinya dikit-dikit aku ngeluh ke kamu, Ga. Soal
orang-orang vihara lah, soal guru-guru yang aneh lah, dan masih banyak lagi.
Sampai kamu kek tong sampah ocehanku aja. Masa ga nyadar, Ga?”
“Iya,
kamu ngeluh, dan selalu ngeluh. Tapi ya itu, kamu cuma ngeluh kalau kaya’nya
semua orang menentang kamu. Tapi ‘kan tetap aja kamu ngelakuin apa yang kamu
mau, ga berpaku sama apa yang dibilang orang-orang.” Arga tersenyum meyakinkan.
“Dan itu juga yang membuat Arga akhirnya memutuskan ambil jurusan Akuntansi,
Rya; karena kamu.”
“Hah?
Aku ga salah denger ‘kan, Ga? Kamu serius, Ga?” Arya melihat Arga tak percaya,
karena selama ini Arga selalu terlihat memfokuskan diri ke mata pelajaran
Kimia. Dan itu terbukti di di tahun kedua mereka di SMA, Arga yang mengikuti
olimpiade bidang Kimia berhasil tembus ke tingkat nasional. Dan terakhir, Arga
sampai pergi ke kota Padang untuk mengikuti tes beasiswa yang diadakan Caltech
untuk jurusan Kimia.
“Iya,
Rya,” jawab Arga, tersenyum meyakinkan kepada sahabatnya itu. “Pas liburan
kemarin Arga kepikiran sama tiga tahun kita di SMA, dan tiba-tiba ingat aja
enaknya belajar Ekonomi sama Pak Farhan waktu kita kelas satu. Kaya’nya
Akuntansi lebih Arga deh daripada Kimia, Rya.”
Arga
melihat ke atas, ke langit biru yang seperti menjanjikan kebebasan untuknya.
Sampai terdengar bunyi klakson sepeda motor, dan teriakan Arya saat sahabatnya
itu menarik lengannya ke arah pinggir jalan lagi.
“Dasar
pahlawan berani mati,” Arya menggoda sahabatnya yang hanya bisa tersipu.
Itu
memang sudah menjadi kebiasaan Arga, yang awalnya berjalan di pinggir jalan,
bisa sampai ke tengah jalan kalau Arya tidak membiarkan Arga berjalan di
pinggir.
“Kamu
gimana, Rya? Jadi ambil SI?” Tanya Arga, mencoba mengalihkan pikiran Arya dari
‘pahlawan berani mati’, julukan Arya untuknya karena kebiasaannya itu.
Arya
tersenyum kecut sebelum menjawab.
“Iya,
Ga. Papa ga bolehin aku jadi guru. Dan karena apa yang papa bilang soal
perbandingan kedua jurusan itu ada benarnya juga.”
“Soal
diskriminasi ras di negara kita ya, Rya?” tanya Arga, karena memang temannya
yang satu ini bukan pribumi, melainkan orang cina, yang --menurut Arga sendiri-- cukup aneh karena
masih didiskriminasi, sementara mereka sudah hidup sekian ratus tahun di negara
ini; dan juga karena banyaknya bagian dari mereka yang telah ikut berjuang dan
mati demi tanah air di masa penjajahan dulu.
“Itu,
sama perbandingan perbandingan peluang kerjanya kalau dibandingin sama fakultas
komputer, Ga.”
“Trus,
kamu yakin, Rya?”
“Ya
yakin ga yakin, Ga. Soalnya aku masih ngeri aja kalau langsung disuruh kerja
begitu tamat SMA.” Arya tersenyum kecut lagi, ngeri membayangkan harus langsung
memasuki dunia kerja yang tidak dikenalnya sama sekali.
“Hmm...
kalau kamu sudah ambil keputusan, ya aku ngga bisa bilang apa-apa lagi, Rya.
Cuma nanti kamu jangan nyesal belakangan aja,” Arga tersenyum menyemangati Arya
yang memang masih belum tahu harus bagaimana menghadapi jalan yang menurutnya
sudah buntu.
Arga
tahu kalau sahabatnya ini dari dulu tidak pernah peduli pada segala sesuatu
yang rumit, termasuk matematika dan fisika. Arga juga tahu bagaimana salah satu
guru mereka yang telah mengajar Arya dari bangku SMP telah sangat menginspirasi
Arya untuk menjadi seorang guru.
Juga bagaimana terobsesinya Arya pada
sastra; yang sempat membuat Arga merasa aneh karena Arya justru lebih menyukai
sastra indonesia dariapada sastra inggris, mengingat betapa lancarnya Arya
dalam mata pelajaran yang satu itu; satu hal yang selalu membuat Arga iri,
karena dirinya tidak begitu pintar dalam mata pelajaran bahasa inggris.
Dan tiba-tiba Arga teringat pada
sesuatu.
“Eh, tapi menulis tetap lanjut ‘kan,
Rya?” tanya Arga, tahu kalau sahabatnya ini memiliki bakat yang luar biasa
dalam menulis.
Arya melongo menatap Arga, kaget karena
sahabatnya itu terlihat begitu mengharapkan Arya tetap menulis. Atau lebih
tepatnya, tetap mencoba menulis; karena itu adalah sesuatu yang baru diketahui
Arya dimilikinya di kelas dua SMA, saat kata-kata mengalir begitu saja dari
pikirannya saat tugas menulis puisi pada mata pelajaran kesenian.
“Eh, itu...ga bisa janji sih, Ga,”
jawab Arya, setelah sadar dari kagetnya. “Soalnya, Arga tahu juga ‘kan kalau menulis itu ga bisa
dilakuin gitu aja. Harus ada inspirasi sama moodnya. “Tapi, Ga, I’ll keep on trying to write, karena
rasanya senang aja pas nulisnya.”
Mereka berdua sampai di depan pintu
gerbang sekolah mereka, mendadak berhenti di sana. Mereka menatap tempat mereka
belajar selama tiga tahun terakhir ini. Tempat mereka bertemu begitu banyak
teman; begitu banyak saudara seperjuangan. Tempat mereka bertemu begitu banyak
guru yang sudah seperti orangtua mereka sendiri. Tempat mereka melewati tiga
tahun yang penuh kegembiraan, penuh haru, dan penuh perjuangan.
Tempat
aku bertemu dan dididik ayah keduaku lagi, batin Arya.
“Nanti tetap aku yang jadi proofreader kamu ya, Rya,” ucap Arga,
yang pertama sadar dari lamunan mereka, sambil memandang Arya sambil tersenyum
hangat dan menyodorkan tinjunya pada Arya.
Arya melihat wajah sahabatnya itu,
membalas senyum hangatnya, dan meninju pelan tangan Arga sambil berkata yakin,
“Pasti.”
“Arya, Arga, ngapain kalian berdiri di
sini?” terdengar suara hangat wali kelas mereka yang menyapa mereka di pintu
masuk sekolah mereka, dan dua tangan hangat mendarat di bahu mereka
masing-masing, memeluk pelan mereka dalam pelukan hangat seorang ayah.
“Sore, Pak,” sapa Arya dan Arga, sambil
menatap wajah guru mereka yang unik ini;
Tubuhnya tidak begitu besar untuk
membuat murid-muridnya takut, tapi saat dia marah, tidak akan ada yang berani
melawannya. Arga bahkan pernah mendengar bahwa guru ini pernah menampar
muridnya saking marahnya.
“Tapi salah orangnya sendiri sih, Ga.
Udah disuruh jangan berisik sama Pak Zafa, tapi masih aja berisik. ‘Kan yang
lain lagi ulangan, terang aja Pak Zafa marah abis,” jelas Arya saat itu.
Meskipun begitu, Arya tidak takut sedikitpun
pada Pak Zafa. Yang ada hanyalah rasa hormat, dan rasa bangga memiliki guru
seperti Pak Zafa yang telah membimbingnya selama enam tahun di sekolah
menengah.
Dan Arga mau tak mau harus setuju pada
pendapat Arya tentang guru yang satu ini, karena dia juga merasakan aura kental
kehangatan yang selalu terpancar dari Pak Zafa; sesuatu yang membuat Arya
sampai terkesan sangat memuja guru mereka yang satu ini.
Mereka berdua melihat ke wajah Pak
Zafa, yang menggantikan mereka termenung di depan sekolah mereka. Mereka mengikuti arah
pandangan Pak Zafa ke arah gedung sekolah, lalu saling melihat satu sama lain
dan mengangguk sambil tersenyum penuh arti; Pak Zafa juga sedang melamunkan hal
yang sama dengan mereka.
Pak Zafa juga akan pindah ke daerah
lain setelah tahun ajaran ini berakhir, karena akhirnya Pak Zafa berhasil lulus
tes PNS.
Pak Zafa yang sedang termenung,
akhirnya sadar sedang diperhatikan oleh kedua muridnya, dan tersenyum hangat.
Pak Zafa meremas lembut bahu Arya dan Arga sambil membawa mereka memasuki
gerbang sekolah.
“Ayo, masuk.”
“Dirimu adalah pahlawan
tanpa tanda jasaku. Selamanya.”
--Arya--
“Kamu tidak akan
tahan kalau kamu jadi guru. Kamu tidak akan tahan dideskriminasi. Kamu tidak
akan tahan jika harus diutus ke daerah terpencil.”
“Pilihan kamu itu tidak punya
lapangan kerja yang besar. Kalau kamu ambil
fakultas pendidikan, kamu hanya akan bisa menjadi guru saja. Lebih baik ambil fakultas komputer, karena di zaman sekarang ini
hampir semua pekerjaan menggunakan komputer.”
“Kalau kamu ambil
jurusan sastra, mau jadi apa kamu? Kalau tidak tahu mau jadi apa, ngapain kamu
ambil jurusan yang punya banyak keterbatasan seperti itu?”
“Waktu itu kita
semua akhirnya setuju kamu langsung kuliah karena hasil tes kamu A. Coba kalau
B.”
“Walaupun itu
bukan keinginan kamu sendiri, tapi kamu sudah putusin buat ambil toh? Jadi ga
bisa bilang itu bukan keinginan kamu sendiri lagi.”
Suara-suara itu memenuhi benak
Arya. Dia tidak tahan lagi.
Arya memejamkan kedua matanya,
lalu memperbaiki posisi headset di telinganya, dan mengeraskan volume musik
dari handphonenya. Alunan musik-musik keras dari handphonenya mengisi kedua
rongga telinganya. Lagu-lagu dari Simple Plan, Linkin Park, dan Avril silih
berganti menemani perasaannya yang masih kacau dan tanpa arah.
Dua tahun telah berlalu sejak
kelulusannya dari SMA. Arya sempat mengikuti nasehat keluarga besarnya untuk
kuliah jurusan Sistem Informasi di salah satu universitas ternama di ibukota,
dan lulus tes masuk dengan nilai A; yang membuat seluruh keluarganya menaruh
harapan yang besar padanya.
Tapi, apa yang ditakutkan Arya terjadi.
Bagaimanapun semua anggota keluarganya memaksanya, dan bagaimanapun dia mencoba
menyemangati diri, Arya tidak bisa memaksakan dirinya untuk mempelajari sesuatu
yang tidak diminatinya.
Dan
setelah tiga semester penuh dorongan dan kemalasan, akhirnya orangtua Arya
memutuskan untuk memutuskan pendidikan Arya. Di semester keempatnya, Arya
disuruh pulang ke Batam, tempat tinggal orangtuanya setelah Arya lulus SMA.
Sayap yang semula telah patah, kini kembali patah.
Arya
masih mengesalkan segala keputusan dan keluguannya di kelas tiga SMA kemarin;
ketidaktahuannya tentang dirinya sendiri, segala ketidakyakinannya pada dirinya
sendiri, dan segala ketakutan tidak beralasannya untuk bekerja sebelum kuliah.
Jauh
di dalam lubuk hatinya, Arya sadar bahwa apa yang dikatakan seluruh keluarga
besarnya memang benar, tapi itu semua tetap tidak ada artinya bagi seorang
Arya; karena Arya adalah Arya. Arya bukan papanya. Arya bukan kakak pertamanya,
juga bukan kakak keduanya. Atau kakak-kakaknya yang lain. Arya hanyalah Arya.
Titik.
Sebenarnya,
Arya ingin kuliah lagi. Arya ingin kuliah di bidang yang disukainya. Tapi, Arya
tahu akan ditolak oleh keluarganya. Selain karena alasannya akan dianggap kurang
meyakinkan, Arya sadar sudah berapa banyak uang yang telah terbuang percuma
karena kesalahan fatalnya dua tahun yang lalu. Dan seberapa banyak lagi yang
diperlukan jika dia ingin kuliah lagi.
Dan
Arya yang sekarang juga masih seperti Arya dua tahun yang lalu; Arya masih
merasa takut harus bekerja dengan orang. Dan Arya juga merasa tidak bisa
bekerja dengan orang lain.
Arya
terlalu pemalas. Terlalu pemarah. Terlalu egois. Dan segala terlalu yang berakronim
buruk lainnya.
Mata
Arya yang sudah tertutup memicing, dan Arya menggeleng keras di bantalnya,
tangannya mengepal dan menghantam keras kasur yang sedang ditidurinya; Arya
kesal pada dirinya yang seburuk ini. Arya benci Arya yang seperti itu. Tapi
entah mengapa, Arya tidak bisa berubah. Arya hanya bisa menjadi Arya yang buruk
rupa.
Dan
Arya juga kesal pada Arga, yang entah mengapa hilang tanpa berita. Semua smsnya
tidak dibalas. Telepon apalagi; Arga malah menolak dan segera mematikan
handphonenya setiap kali Arya mencoba meneleponnya. Mungkin Arga malu punya
teman tanpa masa depan seperti Arya.
Arya
menutup diri. Menutup diri dari dirinya sendiri. Menutup diri dari
teman-temannya. Menutup diri dari keluarganya. Dari dunia, dan juga dari masa
depannya. Arya hanya menjadi seonggok mayat hidup yang hanya hidup untuk makan,
main komputer, dan tidur. Arya yang dulu hidup sudah menghilang entah ke mana.
“Every man dies, not every
man lives,” Mel Gibson, Braveheart.
--Arga--
Arga menatap layar handphonenya.
Pada begitu banyak pesan dari Arya. Pada segala keputusasaan Arya. Pada segala
usaha Arya untuk menghubunginya. Untuk mencapai seorang Arga, sahabat yang
dikira dimilikinya. Tapi, Arga tidak pernah menanggapi Arya.
Arga terus menatap layar
handphonenya. Sampai handphone itu bergetar dan mengeluarkan bunyi lagi.
Arya. Lagi.
Arga menekan tombol merah di
handphonenya, menolak telepon dari Arya. Dan Arga menonaktifkan handphonenya.
Untuk kesekian kalinya. Menjauhkan dirinya dari Arya.
Arga terus menatap layar handphonenya. Layar handphone yang sekarang gelap;
menolak segala usaha Arya untuk menghubunginya. Arga terus menatapa layar
handphonenya. Sampai ada air yang menetes ke layar handphonenya.
Air mata Arga. Arga menangis.
Arga menangis sambil menatap layar handphonenya. Pada satu-satunya benda di
dunia ini yang bisa mendekatkannya pada sahabatnya. Pada bukti segala kekejaman
yang telah dilakukannya pada sahabatnya.
Arga menangis. Arga rindu pada
sahabatnya. Arga ingin menghiburnya. Arga ingin mengatakan bahwa Arga masih
tetap akan menjadi sahabatnya, meskipun setelah semua yang telah Arya lalui.
Arga masih ingin menjadi sahabat Arya.
Tapi Arga tidak bisa. Bukan
karena Arya, tapi karena Arga sendiri. Bukan Arya yang tidak pantas menjadi
sahabat Arga, tapi Arga yang tidak pantas menjadi sahabat Arya.
Arga telah mencoreng nama baik
sebuah pekerjaan yang selama ini begitu dikagumi Arya. Arga telah gagal sebagai
guru, bahkan jauh sebelum Arga dinobatkan sebagai seorang guru. Arya telah
menyalahkan junior bimbingannya, walaupun sebenarnya Arga yang salah; walaupun
sebenarnya Arga yang tidak bisa mengajar, bukan juniornya yang bodoh. Arga
telah menyebut murid pertamanya bodoh.
Arga telah menjadi guru yang
begitu buruk, sementara Arya sangat mengagumi dan sangat ingin menjadi seorang
guru. Arga merasa telah mengkhianati Arya; mengkhianati kepercayaan sahabatnya.
Arga merasa begitu menjijikkan.
Arga tidak berani menghadapi
Arya.
Arga menangis.
“But if one day, you call and there is no answer...” If
One Day, anonymous.
Tiga tahun kemudian...
Luka itu masih ada. Luka itu masih membekas di hati mereka. Dan
setiap beberapa waktu, luka itu akan merekah kembali, menebarkan rasa sakit di
hati mereka. Mengingatkan mereka bahwa luka itu ada di sana.
--Facebook, Somewhere on the Browser--
Arya
: Ga, kaya’nya mending aku pulang ke
batam deh, daripada aku di sini juga ga ngebantu ko Fandi dan keluarganya sama
sekali kesannya. Aku terlalu aku untuk ngikutin apa kata mereka. Hahaha.
Dan karena aku juga nyadar
setelah acara organisasi kampus yang terakhir kemarin, ternyata kesan ‘kelalu
dan makin kelabu’ tiap kali aku datang ke kampus itu karena aku yang semakin
merasa tidak pantas ada di kampus lantaran aku ga selesaiin studi aku di sini.
berasa kaya’ outsider banget dah.
Dan
kaya’nya, keadaan ga bakal bisa sama kaya’ dulu2 selagi
aku masih lost begini. Yang ada kaku2an pas ketemuan, ga tau mau ngomongin apa.
Hahaha.
Arga : Hahaha.
Ya baguslah
kalau kamu akhirnya nyadar. Btw, perasaan outsider itu sebenarnya cuma perasaan
kamu aja, tahu. Tapi ya kamunya emang begitu, ‘kan; over
sensi aja bawaannya kalau uda ngerasa pake topeng gitu.
Arya : yep. Gotta be my real self first,
sebelum aku bisa ngadapin teman2ku yang di sini lagi. I won’t feel fit anywhere
as long as I wear my mask. And you know that, more than anyone else. Hahaha.
Arga : karena kalau ada apa-apa, pasti kamu
muntahin ke aku. Hahaha.
Arya : eh, kemarin siapa ya yang minta jadi
proofreader aku?
Arga : iye, proofreader, tapi proofreader
karya kamu atuh. Masa’ jadi proofreader ocehan kamu lagi? Kaya’ kita masih SMA
aja dah. -_____-
Arya : hahaha. That, my professor, is only
because you are my old good best friend. :p
Arga : dan aku mulai mempertanyakan arti
sebenarnya dari kata-kata itu. Hahaha.
Arya : cari aja di kamus, pasti artinya
bagus-bagus dah. :p
Eh, btw, Arga sendiri gimana?
Masih kerja di kampus?
Arga : sementara ini masih. Tapi
alhamdullilah, uda dapat kerjaan di luar, yg bukan ngajar punya.
Arya : jadi, apa gunanya kamu masuk fakultas
pendidikan kalau tidak mau ngajar? XD
Arga : tuh kan, mulai lagi dianya. X(
Ini untuk sekarang ini aja koq.
Insya Allah ntar2 kalau Arga uda ngerasa siap, Arga bakal ngajar.
Tapi kalau ditilik dari
kemampuan dan EQ Arga yang sekarang, kaya’nya belum deh. Semoga ga butuh waktu
lama sampai Arga ngerasa siap untuk ngajar.
Arya : Amin...
Eh, prof, ini baru selesai hari
ini. Baca ya. Tapi itu masih versi mentahnya sih. Jadi harusnya masih banyak
kesalahan di sana-sini.
/W/ Mimpi dan Persahabatan open•download
Arga : lagi? Kaya’nya kamu semgangat nulis
banget belakangan ini.
Arya : hahaha. Iya.
Karena aku udah nyadar kalau ini
cara aku nulis diary, sekaligus buat cerminan diri. Jadi ya mending nulis aja
semua yang aku rasain. Semua kata yang muncul di otak aku. Hehehe.
Arga : bagus deh kalau gitu. Keep on writing
ya, Rya.
Kutunggu terus karya-karyamu
yang lain.
Arya : pasti, ga.
It’s my way to cope with the world,
To tell the world that there is
someone called Arya,
That Arya is alive, and will
keep on living.
Even if the world oppose me.
I will keep on fighting.
I will keep on living.
For Arya is alive.
Arga : malah berfsyair ria dia. Hahaha.
Arya : ups! Kebiasaan. Hahaha.
Arga : dasar pujangga banyak acara! Hahaha.
Arya : :p
Arga : Rya, Arga tidur dulu ya. Capek banget
hari ini.
Arya : hah? Tumben. Ngapain aja emangnya hari
ini, Ga?
Arga : nemanin tetangga baru keliling kota.
Abis cantik banget orangnya. Hehehe...
Arya : huuu... dasar. Yaudah. Tidur gih. Nite.
Arga
: nite.
Dan momen itu seakan kembali ke
hadapan mereka; saat di mana Arga menyodorkan tinjunya pada Arya, dengan senyum
penuh kehangatan di depan sekolah mereka, lima tahun lalu.
Dan dalam benaknya, Arya meninju
pelan lagi tinju sahabatnya itu.
Sahabat, selamanya, batin mereka berdua.
“Friends; even though we may not
always be with each other phisically,
our hearts will.”
~swt”~