Thursday, March 28, 2013

Cerpen : Mimpi dan Persahabatan

Mimpi dan Persahabatan

“Arya!”
                Arya yang sedang berjalan menuju sekolahnya di desa melihat ke belakang, ke arah asal suara itu. Di sana ada Arga, pemuda pribumi dengan penampilan khas seorang juara kelas; berpakaian rapi, rambut yang dibelah samping dengan rapi, dan memakai kacamata. Arga adalah teman sekaligus sahabat Arya sejak dari bangku SMP.
                “Halo, Ga,” Arya balas menyapa Arga, dan menunggu Arga menyusulnya dalam perjalanannya ke sekolah untuk menghadiri pengumuman kelulusan SMA. “Siap menerima pengumuman kelulusan?”
                Alhamdulillah sudah, Rya,” jawab Arga. “Kamu?”
                “Siap, Ga, tapi ga semangat aja kalau mikirin uda bakal lulus SMA.”
                “Jadi sudah yakin bakal lulus nih ceritanya?” goda Arga yang tersenyum jahil.
                “Yee... Jadi mentang-mentang aku bukan pemegang ranking di kelas, aku ga boleh optimis kalau aku lulus nih?” Arya tergelak, sambil tangannya meninju bahu Arga.
                “Ya nggalah, Rya. Sensi amat sih jadi orang. Hahaha...” sahut Arga sambil memukul pelan kepala Arya. “Arga salut aja sama kamu, Rya, bawaannya tenang aja. Bawaannya optimis aja. Kaya’nya ga ada yang bisa goyangin kamu walaupun ditolak sama orang sekampung.”
                “Masa sih, Ga?” Arya tersenyum setengah tidak percaya. “Padahal aku ngerasa justru sebaliknya loh, Ga; buktinya dikit-dikit aku ngeluh ke kamu, Ga. Soal orang-orang vihara lah, soal guru-guru yang aneh lah, dan masih banyak lagi. Sampai kamu kek tong sampah ocehanku aja. Masa ga nyadar, Ga?”
                “Iya, kamu ngeluh, dan selalu ngeluh. Tapi ya itu, kamu cuma ngeluh kalau kaya’nya semua orang menentang kamu. Tapi ‘kan tetap aja kamu ngelakuin apa yang kamu mau, ga berpaku sama apa yang dibilang orang-orang.” Arga tersenyum meyakinkan. “Dan itu juga yang membuat Arga akhirnya memutuskan ambil jurusan Akuntansi, Rya; karena kamu.”
                “Hah? Aku ga salah denger ‘kan, Ga? Kamu serius, Ga?” Arya melihat Arga tak percaya, karena selama ini Arga selalu terlihat memfokuskan diri ke mata pelajaran Kimia. Dan itu terbukti di di tahun kedua mereka di SMA, Arga yang mengikuti olimpiade bidang Kimia berhasil tembus ke tingkat nasional. Dan terakhir, Arga sampai pergi ke kota Padang untuk mengikuti tes beasiswa yang diadakan Caltech untuk jurusan Kimia.
                “Iya, Rya,” jawab Arga, tersenyum meyakinkan kepada sahabatnya itu. “Pas liburan kemarin Arga kepikiran sama tiga tahun kita di SMA, dan tiba-tiba ingat aja enaknya belajar Ekonomi sama Pak Farhan waktu kita kelas satu. Kaya’nya Akuntansi lebih Arga deh daripada Kimia, Rya.”
                Arga melihat ke atas, ke langit biru yang seperti menjanjikan kebebasan untuknya. Sampai terdengar bunyi klakson sepeda motor, dan teriakan Arya saat sahabatnya itu menarik lengannya ke arah pinggir jalan lagi.
                “Dasar pahlawan berani mati,” Arya menggoda sahabatnya yang hanya bisa tersipu.
                Itu memang sudah menjadi kebiasaan Arga, yang awalnya berjalan di pinggir jalan, bisa sampai ke tengah jalan kalau Arya tidak membiarkan Arga berjalan di pinggir.
                “Kamu gimana, Rya? Jadi ambil SI?” Tanya Arga, mencoba mengalihkan pikiran Arya dari ‘pahlawan berani mati’, julukan Arya untuknya karena kebiasaannya itu.
                Arya tersenyum kecut sebelum menjawab.
                “Iya, Ga. Papa ga bolehin aku jadi guru. Dan karena apa yang papa bilang soal perbandingan kedua jurusan itu ada benarnya juga.”
                “Soal diskriminasi ras di negara kita ya, Rya?” tanya Arga, karena memang temannya yang satu ini bukan pribumi, melainkan orang cina, yang  --menurut Arga sendiri-- cukup aneh karena masih didiskriminasi, sementara mereka sudah hidup sekian ratus tahun di negara ini; dan juga karena banyaknya bagian dari mereka yang telah ikut berjuang dan mati demi tanah air di masa penjajahan dulu.
                “Itu, sama perbandingan perbandingan peluang kerjanya kalau dibandingin sama fakultas komputer, Ga.”
                “Trus, kamu yakin, Rya?”
                “Ya yakin ga yakin, Ga. Soalnya aku masih ngeri aja kalau langsung disuruh kerja begitu tamat SMA.” Arya tersenyum kecut lagi, ngeri membayangkan harus langsung memasuki dunia kerja yang tidak dikenalnya sama sekali.
                “Hmm... kalau kamu sudah ambil keputusan, ya aku ngga bisa bilang apa-apa lagi, Rya. Cuma nanti kamu jangan nyesal belakangan aja,” Arga tersenyum menyemangati Arya yang memang masih belum tahu harus bagaimana menghadapi jalan yang menurutnya sudah buntu.
                Arga tahu kalau sahabatnya ini dari dulu tidak pernah peduli pada segala sesuatu yang rumit, termasuk matematika dan fisika. Arga juga tahu bagaimana salah satu guru mereka yang telah mengajar Arya dari bangku SMP telah sangat menginspirasi Arya untuk menjadi seorang guru.
Juga bagaimana terobsesinya Arya pada sastra; yang sempat membuat Arga merasa aneh karena Arya justru lebih menyukai sastra indonesia dariapada sastra inggris, mengingat betapa lancarnya Arya dalam mata pelajaran yang satu itu; satu hal yang selalu membuat Arga iri, karena dirinya tidak begitu pintar dalam mata pelajaran bahasa inggris.
Dan tiba-tiba Arga teringat pada sesuatu.
“Eh, tapi menulis tetap lanjut ‘kan, Rya?” tanya Arga, tahu kalau sahabatnya ini memiliki bakat yang luar biasa dalam menulis.
Arya melongo menatap Arga, kaget karena sahabatnya itu terlihat begitu mengharapkan Arya tetap menulis. Atau lebih tepatnya, tetap mencoba menulis; karena itu adalah sesuatu yang baru diketahui Arya dimilikinya di kelas dua SMA, saat kata-kata mengalir begitu saja dari pikirannya saat tugas menulis puisi pada mata pelajaran kesenian.
“Eh, itu...ga bisa janji sih, Ga,” jawab Arya, setelah sadar dari kagetnya. “Soalnya, Arga tahu juga ‘kan kalau menulis itu ga bisa dilakuin gitu aja. Harus ada inspirasi sama moodnya. “Tapi, Ga, I’ll keep on trying to write, karena rasanya senang aja pas nulisnya.”
Mereka berdua sampai di depan pintu gerbang sekolah mereka, mendadak berhenti di sana. Mereka menatap tempat mereka belajar selama tiga tahun terakhir ini. Tempat mereka bertemu begitu banyak teman; begitu banyak saudara seperjuangan. Tempat mereka bertemu begitu banyak guru yang sudah seperti orangtua mereka sendiri. Tempat mereka melewati tiga tahun yang penuh kegembiraan, penuh haru, dan penuh perjuangan.
Tempat aku bertemu dan dididik ayah keduaku lagi, batin Arya.
“Nanti tetap aku yang jadi proofreader kamu ya, Rya,” ucap Arga, yang pertama sadar dari lamunan mereka, sambil memandang Arya sambil tersenyum hangat dan menyodorkan tinjunya pada Arya.
Arya melihat wajah sahabatnya itu, membalas senyum hangatnya, dan meninju pelan tangan Arga sambil berkata yakin,
“Pasti.”
“Arya, Arga, ngapain kalian berdiri di sini?” terdengar suara hangat wali kelas mereka yang menyapa mereka di pintu masuk sekolah mereka, dan dua tangan hangat mendarat di bahu mereka masing-masing, memeluk pelan mereka dalam pelukan hangat seorang ayah.
“Sore, Pak,” sapa Arya dan Arga, sambil menatap wajah guru mereka yang unik ini;
Tubuhnya tidak begitu besar untuk membuat murid-muridnya takut, tapi saat dia marah, tidak akan ada yang berani melawannya. Arga bahkan pernah mendengar bahwa guru ini pernah menampar muridnya saking marahnya.
“Tapi salah orangnya sendiri sih, Ga. Udah disuruh jangan berisik sama Pak Zafa, tapi masih aja berisik. ‘Kan yang lain lagi ulangan, terang aja Pak Zafa marah abis,” jelas Arya saat itu.
Meskipun begitu, Arya tidak takut sedikitpun pada Pak Zafa. Yang ada hanyalah rasa hormat, dan rasa bangga memiliki guru seperti Pak Zafa yang telah membimbingnya selama enam tahun di sekolah menengah.
Dan Arga mau tak mau harus setuju pada pendapat Arya tentang guru yang satu ini, karena dia juga merasakan aura kental kehangatan yang selalu terpancar dari Pak Zafa; sesuatu yang membuat Arya sampai terkesan sangat memuja guru mereka yang satu ini.
Mereka berdua melihat ke wajah Pak Zafa, yang menggantikan mereka termenung di depan sekolah mereka. Mereka mengikuti arah pandangan Pak Zafa ke arah gedung sekolah, lalu saling melihat satu sama lain dan mengangguk sambil tersenyum penuh arti; Pak Zafa juga sedang melamunkan hal yang sama dengan mereka.
Pak Zafa juga akan pindah ke daerah lain setelah tahun ajaran ini berakhir, karena akhirnya Pak Zafa berhasil lulus tes PNS.
Pak Zafa yang sedang termenung, akhirnya sadar sedang diperhatikan oleh kedua muridnya, dan tersenyum hangat. Pak Zafa meremas lembut bahu Arya dan Arga sambil membawa mereka memasuki gerbang sekolah.
“Ayo, masuk.”

“Dirimu adalah pahlawan tanpa tanda jasaku. Selamanya.”

--Arya--
                “Kamu tidak akan tahan kalau kamu jadi guru. Kamu tidak akan tahan dideskriminasi. Kamu tidak akan tahan jika harus diutus ke daerah terpencil.”
                Pilihan kamu itu tidak punya lapangan kerja yang besar. Kalau kamu ambil fakultas pendidikan, kamu hanya akan bisa menjadi guru saja. Lebih baik ambil fakultas komputer, karena di zaman sekarang ini hampir semua pekerjaan menggunakan komputer.”
                “Kalau kamu ambil jurusan sastra, mau jadi apa kamu? Kalau tidak tahu mau jadi apa, ngapain kamu ambil jurusan yang punya banyak keterbatasan seperti itu?”
                “Waktu itu kita semua akhirnya setuju kamu langsung kuliah karena hasil tes kamu A. Coba kalau B.”
                “Walaupun itu bukan keinginan kamu sendiri, tapi kamu sudah putusin buat ambil toh? Jadi ga bisa bilang itu bukan keinginan kamu sendiri lagi.”
                Suara-suara itu memenuhi benak Arya. Dia tidak tahan lagi.
                Arya memejamkan kedua matanya, lalu memperbaiki posisi headset di telinganya, dan mengeraskan volume musik dari handphonenya. Alunan musik-musik keras dari handphonenya mengisi kedua rongga telinganya. Lagu-lagu dari Simple Plan, Linkin Park, dan Avril silih berganti menemani perasaannya yang masih kacau dan tanpa arah.
                Dua tahun telah berlalu sejak kelulusannya dari SMA. Arya sempat mengikuti nasehat keluarga besarnya untuk kuliah jurusan Sistem Informasi di salah satu universitas ternama di ibukota, dan lulus tes masuk dengan nilai A; yang membuat seluruh keluarganya menaruh harapan yang besar padanya.
Tapi, apa yang ditakutkan Arya terjadi. Bagaimanapun semua anggota keluarganya memaksanya, dan bagaimanapun dia mencoba menyemangati diri, Arya tidak bisa memaksakan dirinya untuk mempelajari sesuatu yang tidak diminatinya.
Dan setelah tiga semester penuh dorongan dan kemalasan, akhirnya orangtua Arya memutuskan untuk memutuskan pendidikan Arya. Di semester keempatnya, Arya disuruh pulang ke Batam, tempat tinggal orangtuanya setelah Arya lulus SMA. Sayap yang semula telah patah, kini kembali patah.
Arya masih mengesalkan segala keputusan dan keluguannya di kelas tiga SMA kemarin; ketidaktahuannya tentang dirinya sendiri, segala ketidakyakinannya pada dirinya sendiri, dan segala ketakutan tidak beralasannya untuk bekerja sebelum kuliah.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Arya sadar bahwa apa yang dikatakan seluruh keluarga besarnya memang benar, tapi itu semua tetap tidak ada artinya bagi seorang Arya; karena Arya adalah Arya. Arya bukan papanya. Arya bukan kakak pertamanya, juga bukan kakak keduanya. Atau kakak-kakaknya yang lain. Arya hanyalah Arya. Titik.
Sebenarnya, Arya ingin kuliah lagi. Arya ingin kuliah di bidang yang disukainya. Tapi, Arya tahu akan ditolak oleh keluarganya. Selain karena alasannya akan dianggap kurang meyakinkan, Arya sadar sudah berapa banyak uang yang telah terbuang percuma karena kesalahan fatalnya dua tahun yang lalu. Dan seberapa banyak lagi yang diperlukan jika dia ingin kuliah lagi.
Dan Arya yang sekarang juga masih seperti Arya dua tahun yang lalu; Arya masih merasa takut harus bekerja dengan orang. Dan Arya juga merasa tidak bisa bekerja dengan orang lain.
Arya terlalu pemalas. Terlalu pemarah. Terlalu egois. Dan segala terlalu yang berakronim buruk lainnya.
Mata Arya yang sudah tertutup memicing, dan Arya menggeleng keras di bantalnya, tangannya mengepal dan menghantam keras kasur yang sedang ditidurinya; Arya kesal pada dirinya yang seburuk ini. Arya benci Arya yang seperti itu. Tapi entah mengapa, Arya tidak bisa berubah. Arya hanya bisa menjadi Arya yang buruk rupa.
Dan Arya juga kesal pada Arga, yang entah mengapa hilang tanpa berita. Semua smsnya tidak dibalas. Telepon apalagi; Arga malah menolak dan segera mematikan handphonenya setiap kali Arya mencoba meneleponnya. Mungkin Arga malu punya teman tanpa masa depan seperti Arya.
Arya menutup diri. Menutup diri dari dirinya sendiri. Menutup diri dari teman-temannya. Menutup diri dari keluarganya. Dari dunia, dan juga dari masa depannya. Arya hanya menjadi seonggok mayat hidup yang hanya hidup untuk makan, main komputer, dan tidur. Arya yang dulu hidup sudah menghilang entah ke mana.

“Every man dies, not every man lives,” Mel Gibson, Braveheart.

--Arga--
                Arga menatap layar handphonenya. Pada begitu banyak pesan dari Arya. Pada segala keputusasaan Arya. Pada segala usaha Arya untuk menghubunginya. Untuk mencapai seorang Arga, sahabat yang dikira dimilikinya. Tapi, Arga tidak pernah menanggapi Arya.
                Arga terus menatap layar handphonenya. Sampai handphone itu bergetar dan mengeluarkan bunyi lagi.
                Arya. Lagi.
                Arga menekan tombol merah di handphonenya, menolak telepon dari Arya. Dan Arga menonaktifkan handphonenya. Untuk kesekian kalinya. Menjauhkan dirinya dari Arya.
                Arga terus menatap layar  handphonenya. Layar handphone yang sekarang gelap; menolak segala usaha Arya untuk menghubunginya. Arga terus menatapa layar handphonenya. Sampai ada air yang menetes ke layar handphonenya.
                Air mata Arga. Arga menangis. Arga menangis sambil menatap layar handphonenya. Pada satu-satunya benda di dunia ini yang bisa mendekatkannya pada sahabatnya. Pada bukti segala kekejaman yang telah dilakukannya pada sahabatnya.
                Arga menangis. Arga rindu pada sahabatnya. Arga ingin menghiburnya. Arga ingin mengatakan bahwa Arga masih tetap akan menjadi sahabatnya, meskipun setelah semua yang telah Arya lalui. Arga masih ingin menjadi sahabat Arya.
                Tapi Arga tidak bisa. Bukan karena Arya, tapi karena Arga sendiri. Bukan Arya yang tidak pantas menjadi sahabat Arga, tapi Arga yang tidak pantas menjadi sahabat Arya.
                Arga telah mencoreng nama baik sebuah pekerjaan yang selama ini begitu dikagumi Arya. Arga telah gagal sebagai guru, bahkan jauh sebelum Arga dinobatkan sebagai seorang guru. Arya telah menyalahkan junior bimbingannya, walaupun sebenarnya Arga yang salah; walaupun sebenarnya Arga yang tidak bisa mengajar, bukan juniornya yang bodoh. Arga telah menyebut murid pertamanya bodoh.
                Arga telah menjadi guru yang begitu buruk, sementara Arya sangat mengagumi dan sangat ingin menjadi seorang guru. Arga merasa telah mengkhianati Arya; mengkhianati kepercayaan sahabatnya. Arga merasa begitu menjijikkan.
                Arga tidak berani menghadapi Arya.
                Arga menangis.

“But if one day, you call and there is no answer...” If One Day, anonymous.

Tiga tahun kemudian...
                Luka itu masih ada.  Luka itu masih membekas di hati mereka. Dan setiap beberapa waktu, luka itu akan merekah kembali, menebarkan rasa sakit di hati mereka. Mengingatkan mereka bahwa luka itu ada di sana.
               
--Facebook, Somewhere on the Browser--
Arya       : Ga, kaya’nya mending aku pulang ke batam deh, daripada aku di sini juga ga ngebantu ko Fandi dan keluarganya sama sekali kesannya. Aku terlalu aku untuk ngikutin apa kata mereka. Hahaha.
                Dan karena aku juga nyadar setelah acara organisasi kampus yang terakhir kemarin, ternyata kesan ‘kelalu dan makin kelabu’ tiap kali aku datang ke kampus itu karena aku yang semakin merasa tidak pantas ada di kampus lantaran aku ga selesaiin studi aku di sini. berasa kaya’ outsider banget dah.
Dan kaya’nya, keadaan ga bakal bisa sama kaya’ dulu2 selagi aku masih lost begini. Yang ada kaku2an pas ketemuan, ga tau mau ngomongin apa. Hahaha.
Arga       : Hahaha.
Ya baguslah kalau kamu akhirnya nyadar. Btw, perasaan outsider itu sebenarnya cuma perasaan kamu aja, tahu. Tapi ya kamunya emang begitu, ‘kan; over sensi aja bawaannya kalau uda ngerasa pake topeng gitu.
Arya       : yep. Gotta be my real self first, sebelum aku bisa ngadapin teman2ku yang di sini lagi. I won’t feel fit anywhere as long as I wear my mask. And you know that, more than anyone else. Hahaha.
Arga       : karena kalau ada apa-apa, pasti kamu muntahin ke aku. Hahaha.
Arya       : eh, kemarin siapa ya yang minta jadi proofreader aku?
Arga       : iye, proofreader, tapi proofreader karya kamu atuh. Masa’ jadi proofreader ocehan kamu lagi? Kaya’ kita masih SMA aja dah. -_____-
Arya       : hahaha. That, my professor, is only because you are my old good best friend. :p
Arga       : dan aku mulai mempertanyakan arti sebenarnya dari kata-kata itu. Hahaha.
Arya       : cari aja di kamus, pasti artinya bagus-bagus dah. :p
                Eh, btw, Arga sendiri gimana? Masih kerja di kampus?
Arga       : sementara ini masih. Tapi alhamdullilah, uda dapat kerjaan di luar, yg bukan ngajar punya.
Arya       : jadi, apa gunanya kamu masuk fakultas pendidikan kalau tidak mau ngajar? XD
Arga       : tuh kan, mulai lagi dianya. X(
                Ini untuk sekarang ini aja koq. Insya Allah ntar2 kalau Arga uda ngerasa siap, Arga bakal ngajar.
                Tapi kalau ditilik dari kemampuan dan EQ Arga yang sekarang, kaya’nya belum deh. Semoga ga butuh waktu lama sampai Arga ngerasa siap untuk ngajar.
Arya       : Amin...
                Eh, prof, ini baru selesai hari ini. Baca ya. Tapi itu masih versi mentahnya sih. Jadi harusnya masih banyak kesalahan di sana-sini.
                /W/ Mimpi dan Persahabatan                          opendownload
Arga       : lagi? Kaya’nya kamu semgangat nulis banget belakangan ini.
Arya       : hahaha. Iya.
                Karena aku udah nyadar kalau ini cara aku nulis diary, sekaligus buat cerminan diri. Jadi ya mending nulis aja semua yang aku rasain. Semua kata yang muncul di otak aku. Hehehe.
Arga       : bagus deh kalau gitu. Keep on writing ya, Rya.
                Kutunggu terus karya-karyamu yang lain.
Arya       : pasti, ga.
Its my way to cope with the world,
                To tell the world that there is someone called Arya,
                That Arya is alive, and will keep on living.
                Even if the world oppose me.
                I will keep on fighting.
                I will keep on living.
                For Arya is alive.
Arga       : malah berfsyair ria dia. Hahaha.
Arya       : ups! Kebiasaan. Hahaha.
Arga       : dasar pujangga banyak acara! Hahaha.
Arya       : :p
Arga       : Rya, Arga tidur dulu ya. Capek banget hari ini.
Arya       : hah? Tumben. Ngapain aja emangnya hari ini, Ga?
Arga       : nemanin tetangga baru keliling kota. Abis cantik banget orangnya. Hehehe...
Arya       : huuu... dasar. Yaudah. Tidur gih. Nite.
Arga       : nite.

                Dan momen itu seakan kembali ke hadapan mereka; saat di mana Arga menyodorkan tinjunya pada Arya, dengan senyum penuh kehangatan di depan sekolah mereka, lima tahun lalu.
                Dan dalam benaknya, Arya meninju pelan lagi tinju sahabatnya itu.
                Sahabat, selamanya, batin mereka berdua.
               
“Friends; even though we may not always be with each other phisically,
our hearts will.”

~swt”~

Wednesday, March 20, 2013

Poem : The Bull



The Bull

The bull has grown its horn,
Ready to thrust anybody who bear the color of red.
The bull has grew its horn,
Ready to curse anybody that comes to its way.

The bull has grown its horn.
The bull has become sensitive;
It has become wilder, craftier;
The bull will go in rage easily.

The bull, that beast, is injured.
Its soul is broken, shattered into pieces.
The bull is broken, lost in the nowhere.

The bull is now nothing but a broken toy,
Just attacking whoever and whatever comes,
Whoever and whatever that dares to get near it.

The bull has grown its horn;
The bull is broken.

~swt”~

Sunday, March 17, 2013

Poem : Cahaya



Cahaya

Dunia yang dulu gelap, pekat,
Kini mulai bersinar, walaupun samar.
Selayaknya berkas-berkas cahaya mentari
Yang menerangi dunia dengan perlahan.

Semburat warna merah, cerah,
Memperlihatkan lekuk-lekuk dunia.
Dunia yang dulu gelap dan tanpa arah,
Yang menunggu indahnya cahaya surya.

Setitik harapan, seutas asa,
Untuk meraih segenggam mimpi.
Mimpi yang kini mulai terkuak,
Karena hadirnya seberkas cahaya.

Mewarnai ruang-ruang penuh yang kelam;
Menunjukkan anak-anak tangga terbawah,
Untuk menuju hari-hari penuh kemilau,
Setelah malam-malam yang panjang.

Setitik harapan.
Seutas asa.
Segenggam mimpi.
Seberkas cahaya.

~swt”~