Thursday, March 24, 2016

Poem : Be A Supernova!!!

Di tengah dunia yang semakin kelam, kita berdiri.
Menentang arus, yang memaksamu mengikutinya.
Mengotori dunia, dengan segala bentuk sampah.

Dunia, yang kian hari kian gelap;
Membuatmu hampa dan tak berinti.
Antara hidup, dan mati.
Antara bumi…dan langit.

Ke mana larinya kepercayaan,
Ketika kau tak tahu lagi apa yang harus kau percayai.
Masih adakah makna di balik cinta,
Ketika cinta berbalik dan menusukmu dari belakang.

Tapi Kau, jadilah Supernova;
Sebuah bintang yang harus menyusut dan memapat,
Dengan tekanannya yang tinggi dan semakin meninggi
Sebelum akhirnya  meledak dengan terangnya.


 Be A Supernova!!!, by ~swt”~

Tuesday, January 28, 2014

Poem : Golden Heart



Golden Heart

The vast sea is just so wide,
The horizon spread from side to side.
Sail it through with the help of a boat,
Leave behind a trail of fading froths.

Unchain your wings and spread it wide,
Don’t let it rot while you are in hide.
Face the world with gold as a heart,
Just be kind and have a loving heart.

~swt”~

Saturday, December 14, 2013

Poem : When Loneliness Bites!

When Loneliness Bites!

When the bleeding won’t stop,
And the scar won’t heal.
When the heart screamin’ in agony.

When the space feels so hollow,
Craving to be filled.
When the world seems so vast.

It hurts,
It’s unbearable,
When the loneliness bites!


~swt”~

Saturday, December 7, 2013

Cerpen : Silver Queen

Silver Queen

“Ini bukan tentang bagaimana aku mendapatkan cinta;
Ini tentang bagaimana aku melihat cinta.”

HALO!!!
Perkenalkan, namaku Rendi Ferdinand. Sekarang, aku duduk di kelas 3-1 di SMP Negeri 1 Tanah Merah .
Kalau kalian belum tahu, Desa Tanah Merah adalah satu dari sekian banyak desa kecil yang ada pada Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Bersama dengan Desa Kuala Enok di sebelahnya, dengan sebuah jembatan besi yang menjembatani sungai air asin pemisah mereka, desa ini lebih dikenal sebagai Desa Kuala Enok, Kecamatan Tanah Merah. Dan, mungkin karena jarak mereka yang benar-benar dekat, beberapa desa kecil yang letaknya ada di sekitar Muara Enok juga dikenal sebagai bagian dari Desa Kuala Enok.
Dari desa ini, kalian bisa naik speedboat selama satu jam untuk sampai ke Tembilahan, ibukota dari Kabupaten Indragiri Hilir, untuk selanjutnya naik mobil selama tujuh sampai delapan jam perjalanan untuk sampai ke Kota Pekanbaru, ibukota dari Provinsi Riau.
Mengenai jumlah penduduk, mata pencaharian utama, dan lain-lain, akan kutanyakan pada Bu Laila, guru Geografi kami, jika kalian ingin mengetahuinya. Tapi, menceritakan semua itu akan menggunakan semua tempat yang diperlukan untuk menceritakan kisahku ini, sementara kisahku ini bukanlah tentang kampung halamanku. Jadi, mari kita bahas pada kesempatan lain saja. Oke?
Sebaliknya, kisahku ini berhubungan erat dengan SilverQueen, sebuah merek coklat ternama yang – bersama dengan seorang gadis ajaib – akan segera merubah pandanganku akan dunia; sebuah merek coklat yang diidam-idamkan oleh gadis yang begitu sempurna di mataku, yang sayangnya tidak dijual sini.
Ya, SilverQueen, coklat mahal dengan kacang metenya yang enak. SilverQueen, merek coklat yang paling sering kita temui di iklan-iklan televisi. Dulu, coklat bermerek terkenal itu memang pernah dijual di sini, tapi mungkin karena sedikitnya pembeli yang dikarenakan harganya yang cukup mahal, merek coklat itu tak pernah terlihat lagi di sini.
Yah, sebenarnya aku tidak akan mempermasalahkan hal itu, seandainya saja Yunika tidak pernah mengatakan kalau sudah lama dia suka dengan coklat bermerek SilverQueen. Dan mengapa ucapan Yunika itu bisa begitu penting?
Jawabannya, karena Yunika adalah gadis paling unik di Desa Kuala Enok, yang sempat kusinggung tadi. Yunika itu cantik, periang, dan…tentu saja, unik; sama seperti namanya, ‘unique’.

“Desa Tanah Merah adalah satu dari sekian banyak desa kecil yang ada pada Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Bersama dengan Desa Kuala Enok di sebelahnya, dengan sebuah jembatan besi yang menjembatani sungai air asin pemisah mereka, desa ini lebih dikenal sebagai Desa Kuala Enok, Kecamatan Tanah Merah.”

Prit! Prit! Prit, prit, prit!
Bunyi peluit yang menggemakan komando ‘Kiri! Kiri! Kiri, kiri, kiri!’ kepada anggota gerak jalan yang ditiup Yunika menggema di lingkungan di sekitar sekolah, memberi kesempatan kepada aku dan teman-temanku di SMP Negeri 1 Tanah Merah untuk beristirahat sejenak dari kejenuhan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Sementara pasukan gerak jalan sekolah kami yang sedang berlatih untuk lomba menjelang hari kemerdekaan lewat di jalan di dekat kelasku diiringi dengan suara peluit mereka, perhatianku tertuju kepada pemimpin pasukan gerak jalan perempuan yang terus meniup peluitnya; mengabaikan hujan keringat yang membasahi wajahnya di bawah naungan topi sekolah yang dia pakai.
Si cantik juara dua umum ini sebenarnya berkulit putih. Tapi, karena belakangan ini dia sibuk latihan gerak jalan di bawah sinar matahari yang terik, kulit putihnya itu mulai berubah menjadi agak kecoklatan. Tapi, justru warna coklat itu membuatnya terlihat lebih manis daripada sebelumnya.
Manis, pintar, dan cantik dengan wajahnya yang menurut teman-temanku terlalu biasa. Tapi, bagiku, tetap Yunika yang paling cantik di seluruh desa ini.
Ah… Mungkin ini, ya, yang orang-orang bilang sebagai cinta? Tak peduli walau dia bukan yang nomor satu, di hati ini, hanya dia yang paling sempurna.
Silver Queen…
Yunika…

“Ah… Mungkin ini, ya, yang orang-orang bilang sebagai cinta? Tak peduli walau dia bukan yang nomor satu, di hati ini, hanya dia yang paling sempurna.”

“Ren… Rendi!”
Panggilan Dias, teman sebangkuku yang berwajah bulat dan berkaca mata, disertai dengan dorongan-dorongan keras tangannya yang gemuk pada bahuku, menyadarkanku dari lamunanku tentang Yunika.
“Hah? Ada apa, Yas?” sahutku kaget.
“Ada yang panggil kamu di depan,” jawab Dias sok misterius, sambil menganggukkan kepalanya ke arah pintu kelas yang terletak di bagian depan kelas.
Mataku mengikuti arah anggukan kepala Dias ke pintu kelas, dan dengan ngeri melihat kalau di samping Bu Laila, guru Geografi kami yang kecil, polos, dan berkacamata, berdirilah sosok guru Bahasa Indonesia kami yang tinggi dan tegap, lengkap dengan rambut pendek khas tentara dan wajah penuh bekas jerawatnya.
Dan, yang lebih mengerikan lagi adalah fakta bahwa Pak Arifin, guru kami yang mirip anggota tentara itu, sedang menatap lurus kepadaku. Aku menelan ludah, pasrah jika ternyata aku tertangkap basah sedang melamun di tengah kelas Bu Laila.
“Rendi Ferdinand,” suara Pak Arifin yang super ngebass itu memanggil namaku; nada suaranya tenang, tapi berbahaya. Dan, dari reaksi teman-teman sekelasku, aku yakin ini bukan panggilannya yang pertama.
“I-iya, Pak?” aku menyahut dengan gugup; keringat dingin mulai membasahi wajahku.
“Ikut saya ke ruangan kepala sekolah!” perintah Pak Arifin, matanya masih menatap tajam kepadaku.
Dengan pasrah dan diikuti oleh tatapan mata penuh rasa kasihan dari teman-teman sekelasku, aku berjalan ke arah pintu, dan kemudian mengikuti Pak Arifin ke ruangan kepala sekolah.
Tidak ada yang bisa menyalahkanku jika mereka melihatku berjalan di belakang Pak Arifin dengan wajah murung, karena semua murid SMP Negeri 1 Tanah Merah tahu bahwa semua murid yang dipanggil oleh guru yang satu itu telah melakukan sebuah kesalahan, baik berat maupun ringan. Dan, tentu saja, mereka semua dipanggil untuk dihukum.
Tapi, apa yang telah kulakukan sampai harus dipanggil oleh guru ini? Karena terlambat tadi pagi? Karena ketahuan mencontek PR Geografi tadi pagi?
Tidak, tidak. Biasanya Pak Arifin tidak pernah mengurus hal-hal sekecil itu, kecuali jika PR yang ketahuan itu adalah PR yang dia berikan sendiri.
Dengan benakku dipenuhi dengan pertanyaan mengenai kesalahan apa yang kira-kira telah membuat Pak Arifin memanggilku – dan ke ruangan kepala sekolah, tak kurang dari itu – kami sampai di ruangan kepala sekolah yang tidak terkunci.
Begitu melihat kami datang, kepala sekolah kami langsung membereskan surat-surat yang sedang dikerjakannya dan mempersilakan kami masuk dan duduk di kursi berbantalan empuk di sisi lain mejanya.
“Jadi, ini anak yang Pak Arifin bilang tadi?” Pak Juhari, kepala sekolah kami itu, bertanya kepada Pak Arifin. Dan, tanpa menunggu jawaban dari Pak Arifin, Pak Hari langsung bertanya kepadaku sambil tersenyum ramah,
“Rendi Ferdinand, ya?”
“I-iya, Pak,” aku menjawab kikuk, dan menyambut uluran tangan Pak Hari.
“Kata Pak Arifin, kamu suka sastra? Termasuk sastra Indonesia?” tanya Pak Hari lagi.
“I-iya, Pak,” jawabku lagi; masih kikuk, karena selama lebih dari dua tahun di SMP ini, baru kali ini aku berhadapan langsung dengan kepala sekolah kami ini.
“Jadi, kamu mau mewakili sekolah kita untuk mengikuti lomba pidato di Tembilahan?” Pak Hari bertanya lagi padaku.
Mendengar pertanyaan itu dari kepala sekolahku, tentu saja aku terkejut. Apalagi, yang tadi memanggil dan membawaku ke sini adalah Pak Arifin, guru paling killer satu sekolah. Jadi, reaksi spontanku adalah membuka mulutku dan mengucapkan,
“Ha?”
Melihat reaksiku, Pak Hari tersenyum maklum sambil melirik Pak Arifin – yang ekspresinya masih sedingin biasa – seolah dia bisa menduga akan terjadi hal seperti ini.
“Begini, Rendi; hari senin nanti, aka nada lomba pidato tingkat kabupaten di Tembilahan, dan sebagai guru Bahasa Indonesia senior di SMP kita, Pak Arifin merekomendasikan kamu untuk mewakili sekolah kita pada lomba itu,” jelas Pak Hari. “Tapi, tentu saja, itu hanya kalau kamu mau.”
“Eh… saya?” tanyaku tak percaya, menatap wajah Pak Hari, lalu Pak Arifin, yang membalas tatapan penuh tanyaku dengan ekspresi dinginnya yang biasa.
“Kalau kamu tidak percaya sama kemampuan kamu sendiri, saya bisa menunjuk Hendi Ciptawan untuk mewakili sekolah kita.” Pak Arifin menjawab dengan nada bosan, seolah-olah dia sudah tahu aku akan bereaksi seperti ini.
“Eh… Hendi?” aku bertanya tak percaya lagi.
“Iya,  Hendi,” jawab Pak Arifin lagi, masih dengan nada penuh kebosanan yang sama.
“Hendi yang ketua OSIS tahun lalu? Yang puisi-puisinya selalu dipajang di mading waktu kelas dua kemarin?” tanyaku lagi, menolak untuk percaya kalau Hendi yang dimaksudkan Pak Arifin dan Hendi yang kupikirkan adalah Hendi yang sama.
“Memangnya ada berapa Hendi Ciptawan di sekolah kita?” Pak Arifin balik bertanya, masih dengan nada bosannya yang sama, walaupun kali ini dengan alis mata kanannya yang terangkat penuh ancaman.
“Yah, siapa tahu saja ada anak yang tidak saya kenal yang namanya sama dengan Hendi,” jawabku putus asa, sebelum aku menyadari bahaya yang dihadirkan oleh alis Pak Arifin yang terangkat dan langsung menutup mulutku rapat-rapat.
“Jadi, bagaimana, Rendi? Kamu mau mewakili sekolah kita untuk lomba pidato itu?” akhirnya Pak Hari bertanya lagi padaku, setelah puas tersenyum melihat percakapanku dengan Pak Arifin.
Ditanya begitu oleh Pak Hari yang selalu penuh kharisma, aku memikirkannya baik-baik.
Pergi ke Tembilahan untuk mengikuti lomba pidato yang asing bagiku tidak terdengar menyenangkan sama sekali, tidak peduli seberapa besar rasa sukaku pada sastra dan mata pelajaran Bahasa Indonesia.  Tapi, kalau aku tidak pergi, kesempatan ini akan diberikan kepada Hendi.
Benar, Hendi. Dari sekitar lima ratus lima puluh siswa di sekolah ini, yang akan mendapatkan kesempatan langka ini jika aku menolaknya adalah satu-satunya makhluk yang menunjukkan rasa tertarik yang besar pada Yunika. Dengan kata lain, saingan cintaku.
Hal itu terlihat jelas dari puisi-puisi romantis Hendi yang dipajang di mading sekolah sepanjang kelas dua kemarin; Hendi dengan sangat jelas menyiratkan kalau puisi-puisi itu didedikasikan untuk Yunika.
Aku bisa membayangkan seberapa besar jadinya kepala Hendi sepulangnya dia dari lomba itu, dan seberapa besar kemungkinan Yunika yang memang sudah mengagumi Hendi sebagai ketua OSIS dan atlet bulu tangkis yang berbakat akan semakin mengaguminya.
Apalagi kalau sampai Hendi membelikan coklat SilverQueen sebagai oleh-oleh untuk Yunika; entah karena kebetulan, atau karena Yunika juga pernah menceritakan hal itu pada Hendi.
Tidak, tidak. Aku tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, batinku, sementara kepalaku kugelengkan ke kiri dan ke kanan; membuat Pak Hari tersenyum geli.
“Oke, Pak, saya mau!” jawabku penuh tekad kepada Pak Hari.
“Oke kalau begitu,” kata Pak Hari, masih tersenyum. “Besok pagi kamu akan berangkat dengan Pak Arifin; dan nanti sore, Pak Arifin akan membantu kamu menyusun pidato untuk lomba nanti, sekaligus untuk meminta izin orangtua kamu. Ini surat permohonan izin orangtua untuk orangtua kamu isi, serahkan pada Pak Arifin waktu dia ke rumah kamu nanti sore,” lanjut Pak Hari, sambil memberikan sebuah amplop berlogo sekolah kami.
Setelah itu, Pak Hari dan Pak Arifin membahas masalah transport, makan, dan tempat tinggal untuk Pak Arifin dan aku untuk keperluan lomba itu. Sementara aku? Aku belum disuruh meninggalkan kepala sekolah. Jadi, aku membuka surat permohonan izin orangtua itu sambil menunggu mereka selesai. Lalu, aku sadar kalau aku sudah melupakan satu hal penting dalam lomba pidato itu : tema.
“Pak, lomba pidatonya ada tema, ‘kan? Apa temanya?” tanyaku spontan, langsung kepada Pak Hari.
“Oh, iya, tema,” sahut Pak Hari, meninggalkan kalimatnya yang tadi sedang diucapkannya; jelas telah benar-benar melupakan masalah tema ini. “Tema untuk lomba pidato kali ini adalah ‘Aku cinta Indonesia.’”
“Eh… ‘Aku cinta Indonesia’? Cuma itu?” aku bertanya putus asa; sudah pasti aku tidak akan bisa membawakan topik itu dengan baik.
“Kenapa? Sekarang kamu mau bilang kalau kamu tidak bisa?” kali ini, Pak Arifin benar-benar mengejekku; baik dari nada suaranya maupun dari mimik wajahnya.
Cukup sudah, batinku. Menantang aku? Siapa takut!
“Tidak,” jawabku tegas, memandang lurus pada Pak Arifin “’Aku cinta Indonesia’? Siapa takut?”
“Oh, saya benar-benar cinta Indonesia,” aku menambahkan, memberikan tekanan pada kata ‘cinta’ dalam luapan emosiku, dalam usahaku untuk menyindir guruku yang sombong ini.
“Pak Arifin, masih ada yang mau bapak sampaikan pada Rendi?” tanya Pak Hari, menggunakan kharismanya sepenuhnya. Hal itu berhasil mencegah pertikaian yang hampir timbul antara aku dan Pak Arifin.
“Kamu coba buat sendiri dulu naskah pidatonya sebelum saya ke rumah kamu sore nanti,” jawab Pak Arifin serius.
“Baik, Pak,” aku menjawab kaku.
“Oke. Rendi, kamu boleh kembali ke kelas sekarang. Dan kalau bisa, langsung coba buat saja naskah pidatonya,” Pak Hari berkata lembut padaku, wajahnya menyunggingkan senyum kebapakan. “Semoga sukses ya, Ren,” tambah Pak Hari, sambil mengulurkan tangan kanannya padaku.
“Terima kasih, Pak,” jawabku, menjabat tangan Pak Hari yang terulur.
Setelah itu, aku keluar dari ruangan kepala sekolah, ke pelataran kantor kepala sekolah yang sudah dipenuhi murid-murid yang lalu-lalang di jam istirahat. Begitu keluar, aku langsung kembali ke kelasku, dan melihat Yunika sudah duduk di tempat duduknya di barisan depan kelas; tangannya sibuk menyalin catatan Geografi yang tadi tidak dia ikuti karena latihan gerak jalan.
“Ka, gimana latihan tadi, lancar?” aku bertanya, langsung duduk di bangku di sebelah Yunika yang sedang kosong.
“Hai, Ren. Lumayan, anak-anak sudah lumayan kompak sekarang,” jawab Yunika, mengangkat penanya dari buku catatannya. “Eh, Ren, tadi kamu dipanggil sama Pak Arifin, ya? Kenapa?”
“Iya, aku disuruh ikut lomba pidato di Tembilahan hari senin nanti,” jawabku. “Mau kubelikan sesuatu di sana?” aku bertanya, walaupun aku sudah cukup yakin apa jawabannya.
“SilverQueen?” aku bertanya, lalu langsung tertawa bersama Yunika, karena dia menjawab barang yang sama pada saat yang sama dengan pertanyaanku.
Ga ada yang lain?” tanyaku, hanya untuk menggoda gadis di sebelahku itu.
Ngga, itu aja,” jawabnya.
Pada saat itu, aku mengalihkan pandanganku ke pintu kelas. Dan yang kulihat saat itu tidak membuatku senang; Dias yang sedang tersenyum jahil melihat aku duduk di sebelah Yunika.
“Eh, Ka, ada paparazzi haus gosip yang datang; aku cabut dulu ya,” pamitku, berdiri lalu berbalik untuk melihat  Yunika.
"Oke. Sukses, ya, Ren,” sahut Yunika, sambil memberiku senyum manis khas Yunikanya. “Kamu pasti bisa,” kata Yunika lagi, sambil mengepalkan tangan di depan dadanya.
Disemangati begitu oleh Yunika, mau tidak mau, aku yang sudah kalah sebelum berperang merasa yakin bisa membuat pidato bertemakan ‘Aku cinta Indonesia’ yang akan memesona para juri dan hadirin di lomba nanti.
“’Makasih, Ka,” jawabku, senyumku terkembang penuh semangat. Setelah itu, aku berjalan ke tempat dudukku di sebelah Dias yang sudah memasang wajah jahilnya.

“Disemangati begitu oleh Yunika, mau tidak mau, aku yang sudah kalah sebelum berperang merasa bisa membuat pidato bertemakan ‘Aku cinta Indonesia’ yang akan memesona para juri dan hadirin di lomba nanti.”
               
Siang itu, aku mencoba membuat naskah pidato untuk lomba pidato itu setelah mempersiapkan barang-barang yang kuperlukan; barang-barang yang Pak Arifin cantumkan dalam catatan yang dia berikan padaku sebelum pulang sekolah tadi. Tapi, seperti yang sudah kuketahui, “Aku cinta Indonesia” bukanlah topik yang kukuasai, karena aku tidak pernah mencintai negara ini sama sekali.
Serius, aku? Cinta Indonesia? Tidak mungkin.
Indonesia, yang begitu rasis dan agamis terhadap penduduk-penduduk minoritasnya? Indonesia, dengan pejabat-pejabat pemakan uang rakyatnya? Ada begitu banyak alasan bagiku untuk membenci negara ini, terutama karena aku sendiri termasuk dalam bagian penduduk minoritas.
Tapi, meskipun begitu, aku masih mencobanya, walaupun hal itu murni kulakukan hanya karena rasa hormatku pada Pak Juhari. Bahkan, aku sampai mencoba mengembangkan beberapa naskah dari kutipan-kutipan nasionalis dari berbagai tokoh terkenal yang akhirnya hanya hanya kuberi tanda-tanda silang besar pada halaman-halaman kertas itu. Begitu juga dengan naskah-naskah yang kucoba buat dari lagu-lagu nasional, semuanya berakhir dengan tanda silang besar di atasnya.
Dan, itulah yang kulakukan saat Pak Arifin datang ke rumahku sekitar jam empat sore, hanya untuk memberitahukan keikutsertaanku pada lomba pidato itu sekaligus meminta izin pada orangtuaku secara langsung. Ada urusan keluarga, katanya, jadi beliau belum bisa membantuku menyusun naskah pidato hari itu.
Melihat punggungnya yang berjalan menjauh dengan santai, aku – yang sudah tidak tahu harus bagaimana lagi selain menggantungkan harapanku pada guru yang dari awal memang tidak pernah kusukai itu – marah dan kecewa; bisa-bisanya dia melepaskan tanggung jawabnya untuk membantuku dengan memberiku alasan murahan seperti itu?
Aku begitu marah dan kecewa, jadi aku langsung memasukkan buku dan pena yang dari tadi kugunakan untuk mencoba membuat naskah pidato itu ke dalam ranselku yang telah diisi dengan pakaian dan juga keperluan-keperluanku yang lain untuk waktu dua hari di Tembilahan, dan mengambil dan melanjutkan membaca novel keempat Harry Potter yang baru kubaca sebagian.

“Melihat punggungnya yang berjalan menjauh dengan santai, aku – yang sudah tidak tahu harus bagaimana lagi selain menggantungkan harapanku pada guru yang dari awal memang tidak pernah kusukai itu – marah dan kecewa; bisa-bisanya dia melepaskan tanggung jawabnya untuk membantuku dengan memberiku alasan murahan seperti itu?”

Keesokan paginya, Pak Juhari, yang akan mengantar keberangkatan kami, datang menjemputku ke pelabuhan Syahbandar, pelabuhan utama di desa kami. Setelah itu, aku dan Pak Arifin menghabiskan waktu satu jam kami di dalam speedboat yang membawa kami ke Kota Tembilahan dalam diam.
Keadaan itu terus berlanjut sampai saat kami makan siang di dekat pelabuhan Tembilahan, saat aku memulai percakapan mengenai naskah pidato itu di tengah makan siang kami; aku terlalu bosan dan kesal dengan sikap acuh tak acuh Pak Arifin yang begitu menyebalkan.
“Pak, bagaimana dengan naskah pidato kita? Saya tidak tahu apa yang mau ditulis,” tanyaku, sambil fokus memainkan nasiku dengan sendok – terlalu marah untuk merasa lapar, apalagi melihat langsung ke wajah Pak Arifin.
“Naskah pidato? Memangnya ada apa dengan naskah pidato kita?” tanya Pak Arifin, sendoknya yang sudah berisi nasi dan sedikit lauk diletakkan kembali ke piringnya. “Kamu tidak bisa buat naskah pidato?” Pak Arifin bertanya lagi, lalu memasukkan nasi dalam sendok itu ke mulutnya dan melanjutkan makan dengan santainya.
“Saya tahu cara membuat naskah pidato,” geramku. “Yang tidak saya ketahui adalah cara membuat naskah pidato bertemakan ‘Aku cinta Indonesia’, sementara saya membenci Indonesia,” lanjutku, mengatakan yang sebenarnya.
“Oke, kamu tidak cinta Indonesia,” Pak Arifin menjawab tenang, lalu meminum es teh manisnya sebelum bertanya balik padaku, “Dengan kata lain, kamu membenci Indonesia. Apa yang membuat kamu membenci Indonesia?”
“Karena orang-orang sok agamis dan rasis yang bersikap seolah negara ini milik mereka, dan kaum minoritas hanyalah penghuni tidak diharapkan di negara ini. Karena pejabat-pejabat pemakan uang yang mendominasi pemerintahan, mulai dari yang tertinggi sampai yang terkecil,” jawabku marah, wajah dan mataku terasa panas karena menahan emosi.
Dan karena orang-orang dingin seperti bapak, tambahku marah, tapi hanya dalam hati.
“Oke. Jadi, apa pendapat kamu soal Pak Juhari?” tanya Pak Arifin lagi, membuatku bingung dengan pertanyaannya yang menurutku tidak berhubungan dengan topik yang sedang kami bicarakan. Tapi, antara bingung dan penasaran, aku tetap menjawab pertanyaan itu,
“Pak Juhari orangnya ramah, berkharisma, dan cocok menjabat sebagai kepala sekolah,” jawabku jujur.
“Lalu, apa pendapat kamu terhadap guru-guru di sekolah kita? Terhadap teman-teman kamu? Tetangga-tetangga kamu?” tanya Pak Arifin lagi, membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku semakin bingung, sementara dia menatapku dengan tajam dengan tangannya yang dijalin dan disandarkan di atas meja.
Aku terdiam, berpikir sebentar sebelum aku menjawab pelan, tidak yakin apakah jawabanku benar,
“Walaupun ada di antara mereka yang menjengkelkan dan membuat saya benci pada mereka, tapi yang lain lumayan baik, dan ada beberapa yang sangat baik dan enak dijadikan teman,” jawabku.
“Lalu, bagaimana pendapat kamu terhadap alam raya Indonesia dan keragaman di dalamnya? Terlalu banyak? Membosankan?” Pak Arifin bertanya lagi, masih menatapku dengan tajam.
“Ha? Maksud bapak?” aku bertanya tak mengerti.
“Ya, apakah kamu juga tidak suka dengan kekayaan alam kita, termasuk flora dan fauna, juga tempat-tempat wisata dan bersejarah kita?” jelas Pak Arifin.
“Hmm…” aku berpikir sebentar, lalu menjawab, “Hal-hal itu, kalau menurut saya, justru merupakan hal yang membuat Indonesia menjadi menarik, karena sangat beragam. Begitu juga dengan tempat-tempat wisata dan bersejarah kita; tempat-tempat itu tidak hanya indah, tapi juga menunjukkan kalau negara kita ini kaya akan bukti kejayaan dari berbagai masa dan aliran yang begitu berbeda.
“Dan, semua itu membuat Indonesia berbeda dari negara-negara yang lain; yang membuatnya istimewa.”
"Bagaikan berbagai aliran air yang berbeda, yang pada akhirnya akan menjadi satu di laut lepas,” ucap Pak Arifin, membuatku terpukau oleh kata-katanya yang sarat akan makna.
“Lalu, apakah kamu masih membenci Indonesia?” tanya Pak Arifin serius, matanya menatap langsung ke mataku.
Entah mengapa, rentetan pertanyaan dari Pak Arifin yang diakhiri dengan pertanyaannya tentang rasa benciku pada Indonesia membuat bayangan Yunika melintas dalam benakku, diikuti dengan perasaan tidak puasku pada diriku sendiri, dan diakhiri dengan coklat pesanan Yunika, SilverQueen.
Yunika… Gadis itu begitu hidup karena rasa cintanya pada diri sendiri; pada segala kelebihan dan kekurangannya. Dan, hal itulah yang membuatku begitu mengaguminya, dengan harapan agar suatu saat nanti, aku bisa sehidup gadis unik itu.
Dan Silver Queen… Gelar itu terasa begitu tepat untuk menggambarkan sosok Yunika;
Bagi sebagian besar orang, emas adalah logam paling mulia, dan perak, silver, akan selalu menjadi nomor dua jika dibandingkan dengan emas. Tapi, meskipun tidak sesempurna emas, perak tetap indah dengan caranya sendiri, dan tidak sedikit orang yang tertarik oleh keindahannya yang unik itu.
Dan, begitu jugalah keadaan Indonesia; meskipun ada begitu banyak kekurangan di dalamnya, secara keseluruhan, negara ini tetap indah dengan caranya sendiri.
Menyadari hal itu, aku langsung mengeluarkan pena dan buku coretku dari dalam ransel dan menuliskan sebuah kalimat dalam tanda kutip di dalamnya sebelum makan dengan lahap,
Aku Cinta Indonesia, negaraku yang unik.

“Lalu, apakah kamu masih membenci Indonesia?”

Siang itu, aku langsung mengerjakan naskah pidatoku – yang mengambil topik pembicaraan aku dan Pak Arifin saat makan siang – begitu kami sampai ke penginapan tempat kami akan menginap malam itu.
Aku mengerjakan naskah itu sampai sekitar hampir tengah malam; karena aku memutuskan untuk menuliskan versi yang lebih rapi setelah memenuhi naskah yang kubuat dengan berbagai coretan perbaikan. Begitu selesai, aku langsung tidur, sementara Pak Arifin masih membaca koran yang tadi dibelinya saat dia membeli makan malam.
Malam itu, tidurku sangat nyenyak walaupun aku tidur di tempat yang asing dan ditemani guru paling galak di sekolahku. Dan sepertinya malah terlalu nyenyak, karena Pak Arifin menggerutukan aku yang susah dibangunkan saat dia berhasil membangunkanku jam enam lewat seperempat keesokan paginya. Setelah membangunkanku, kulihat Pak Arifin yang sudah memakai baju dinasnya langsung sibuk dengan kertas doublefolio, pena, dan sobekan kertas yang kupakai untuk menuliskan salinan naskah pidatoku yang rapi. Tapi, karena takut dimarahi dan takut terlambat, aku langsung mandi dan tidak menanyakan apa-apa pada Pak Arifin.
Saat kami sampai di SMP Negeri 1 Tembilahan hampir dua jam kemudian, kami langsung mendaftarkan diri pada meja panitia di depan ruang serbaguna; tempat lomba pidato itu akan dilaksanakan. Di tengah proses pendaftaran, aku dibuat kaget oleh pihak panitia yang melayani kami saat dia meminta salinan pidatoku. Dan saat Pak Arifin malah memberikan kertas doublefolio  yang sama dengan yang kulihat saat aku baru bangun, aku semakin kaget; ternyata, itulah yang sedang dikerjakan oleh Pak Arifin tadi, menyalin naskah pidatoku untuk diberikan kepada pihak penyelenggara lomba.
Setelah itu, panitia yang sama memberikanku nomor urut yang akan menentukan urutan peserta yang akan maju dan membacakan pidato masing-masing – aku mendapatkan nomor sepuluh. Lalu, aku mengikuti Pak Arifin memasuki ruang serbaguna yang sudah mulai penuh.
Sementara aku mengikuti Pak Arifin ke kursi di deretan tengah, aku memerhatikan kalau sebagian besar peserta yang sudah datang sedang membaca dan menghapal naskah pidato mereka yang tercetak rapi pada lembar-lembar kertas HVS. Melihat pemandangan ini, aku menyadari sesuatu dan langsung melihat kepada Pak Arifin yang berada di depanku – yang tidak menyadari tatapanku karena sedang melihat ke depan – dan tersenyum kagum.
Kertas-kertas HVS itu menunjukkan sesuatu padaku, dan hal itu adalah fakta bahwa sebagian besar naskah-naskah pidato yang nanti akan dilombakan dibuat oleh guru-guru dari sekolah-sekolah yang mengirimkan murid-murid mereka untuk mengikuti lomba ini, sementara murid-murid mereka itu hanya perlu fokus pada pembacaan pidatonya. Sementara aku, aku membuat naskah pidatoku sendiri, dan itu karena Pak Arifin bersikeras agar aku membuatnya sendiri.
Bagaimana Pak Arifin bisa yakin kalau aku bisa membuat naskah pidato yang bagus tanpa bantuan? Seyakin itukah Pak Arifin pada kemampuanku?
Dan percakapan kami saat makan siang semalam dan kejadian tadi pagi terbayang lagi olehku; Pak Arifin sudah tahu sebelumnya kalau aku tidak menyadari rasa cintaku pada Indonesia sebelum kukatakan padanya, dan Pak Arifin juga tidak memprotes soal isi naskah pidato yang telah kubuat. Bagaimana? Bagaimana Pak Arifin bisa yakin bahwa aku bisa melakukannya? Dan, fakta bahwa Pak Arifin tidak memprotes isi naskahku sama sekali membuktikan bahwa menurut Pak Arifin, isi naskah pidato yang kubuat itu sudah lumayan bagus.
Menyadari hal-hal itu, mau tak mau aku merasa kagum pada guru yang selama ini hanya kukenal sebagai guru paling galak satu sekolah itu. Kagum, pada rasa percayanya murid yang selama ini selalu diperlakukannya seperti musuh bebuyutan, dan juga pada caranya mengarahkanku membuat naskah pidato itu.  Mungkin, masih ada banyak hal yang belum diketahui dari seorang guru Bahasa Indonesia bernama Arifin Sudibyo.
Tepat pada pukul sembilan, seorang panitia wanita yang berbakaian seperti seragam resmi guru lengkap dengan jilbabnya naik ke atas panggung dan memberikan ucapan selamat datang dan sedikit peraturan tentang lomba yang akan dilaksanakan. Setelah itu, dia menantang para peserta lomba untuk maju secara sukarela, sebelum dipanggil maju oleh panitia sesuai dengan kertas berisikan nama peserta dan asal sekolah – yang telah dikumpulkan dalam sebuah kotak – yang diambil secara acak oleh panitia.
Panggilan pertama. Para peserta – termasuk aku – sibuk melihat peserta-peserta yang lain; yang memiliki teman berbisik dengan teman-temannya.
Panggilan kedua. Peserta-peserta lain mulai tenang dan melihat lurus ke Ibu MC di depan, sementara aku teringat pada perkataan seorang guru yang pernah mengikuti lomba-lomba yang mengharuskannya menunggu giliran seperti ini;
"Kalau saya, saya lebih suka cepat maju dan cepat selesai,” katanya waktu itu, “Karena biasanya saya jadi cemas dan deg-degan sendiri kalau menunggu terlalu lama.”
  Panggilan ketiga. Aku mengangkat tangan kananku ke udara dengan sangat perlahan – masih ragu apakah aku melakukan tindakan yang tepat.
  “Ya, peserta di deretan tengah yang duduk di sebelah bapak yang duduknya tegap itu,” kata Ibu MC itu, tangannya menunjuk lurus ke arahku.
  Aku bisa merasakan kehebohan yang diakibatkan panggilan itu; semua orang dalam ruangan itu melihat ke arahku – kumpulan peserta dan pendamping di deretan depan berbalik untuk melihatku dengan penasaran. Dan aku juga bisa merasakan lonjakan kaget Pak Arifin yang hampir tak terlihat di sebelahku.
  Dengan langkah-langkah penuh ragu, aku sampai ke atas panggung, setelah sempat diingatkan untuk membawa naskah pidatoku oleh Ibu MC. Dan setelah dipersilakan oleh Ibu MC, aku memulai pidatoku dengan mic di tangan kiri dan naskah pidato di tangan kananku.
  “S-selamat p-pagi, s-semua,” gagapku, lalu berhenti karena rasa takutku pada demam panggungku yang akut; begitu parahnya sampai naskah pidato di tangan kananku bergetar dengan kuat.
  Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mencoba melanjutkan.
“Yang t-terhormat bapak-i-ibu p-panitia…” aku berhenti lagi, karena kali ini justru naskah pidatoku bergetar semakin kuat, dan bukannya menghilang seperti yang kuharapkan. Dengan putus asa, aku menatap ke sekeliling ruangan, yang dipenuhi murid-murid yang menahan tawa dan terkikik geli serta guru-guru mereka yang terlihat bosan.
Saat aku tengah melakukan itu, tatapanku bertemu dengan tatapan tajam mata Pak Arifin yang memancarkan rasa yakin; tubuhnya tetap tegap, tidak menunjukkan rasa lemah sama sekali. Setelah kami saling tatap selama sepersekian detik, Pak Arifin tersenyum meyakinkan dan mengangguk pelan kepadaku.
Saya yakin kamu bisa,” ucap tindakan Pak Arifin itu, walaupun aku tidak tahu bagaimana aku bisa yakin akan hal itu.
Melihat itu, kepercayaan diriku datang begitu saja padaku, dan aku balas menganggukkan kepalaku pertanda yakin dan setuju padanya. Lalu, aku menurunkan tangan kananku yang memegang naskah pidato ke samping tubuhku, dan langsung membahas isi pidatoku dengan lancar.
Saat aku mulai membacakan isi pidatoku dengan penuh percaya diri, aku sempat terganggu dengan ekpresi geli dari sebagian orang dalam ruangan itu, seperti aku telah melakukan kesalahan konyol lagi. Tapi, semangatku terlalu menggebu untuk memusingkan masalah itu; sampai saat aku selesai membawakan pidatoku, saat aku sadar akan kesalahan konyol yang telah kulakukan tadi : aku telah melupakan salam, ucapan rasa syukur, dan segala basa-basi pidato lain karena tadi aku terlalu termotivasi oleh tatapan mendukung yang tidak biasa kudapatkan dari Pak Arifin.
Di penghujung hari itu, keberanian dan kesalahan bodohku itu telah membuat hampir seluruh peserta dan pembina lomba pidato itu memperkenalkan diri untuk memuji dan memperolokku.
Sisi positifnya? Daftar temanku bertambah drastis, dan di setiap sekolah di Kabupaten Indragiri Hilir ini akan ada setidaknya satu guru yang mengingat ada satu murid dari SMP Negeri 1 Tanah Merah yang telah merusak pidatonya tepat saat murid itu berhasil mengatasi demam panggungnya.
Hasilnya? Aku sukses mendapatkan juara tiga dalam lomba itu; walaupun jika dilihat dari respon para juri, peserta, dan juga pembimbing yang hadir dalam ruangan itu, aku yakin seharusnya aku bisa mendapatkan juara satu; jika saja aku tidak melakukan kesalahan konyol itu.
Dan, tiga batang coklat SilverQueen yang kubeli untuk Yunika, aku sendiri, dan untuk Pak Arifin mengakhiri kisah perjalananku untuk lomba pidato ini.

“Mungkin, masih ada banyak hal yang belum diketahui dari seorang guru Bahasa Indonesia bernama Arifin Sudibyo.”

Keesokan paginya, Yunika sudah duduk manis di belakang mejanya seperti biasa saat aku sampai di kelas.
“Pagi, Ka,” sapaku, setelah berhasil sampai di depan meja Yunika tanpa dia sadari karena begitu seriusnya dia belajar. “Ada ulangan apa hari ini, koq pagi-pagi sudah belajar?” sindirku.
“Hei,” sahutnya kaget, mengalihkan pandangannya dari buku di mejanya kepadaku. “Gimana lombanya, menang?”
“Juara tiga; berkat kamu,” jawabku, tersenyum penuh arti kepada gadis manis di hadapanku itu sambil merogoh ke dalam tasku, lalu mengeluarkan sebungkus SilverQueen dari dalamnya dan memamerkannya di depan wajah Yunika yang kebingungan.  
“Dan ini,” tambahku, tersenyum jahil kepada Yunika.
“Hah? Koq bisa?” tanya gadis unik itu kebingungan, membuatku tak bisa menahan senyum melihat wajahnya yang penasaran.
“Kamu menunjukkan ke aku kalau menjadi diri sendiri tanpa memedulikan pendapat orang lain itu penting, dan coklat ini…,” aku menggoyang-goyangkan SilverQueen yang kupegang di depan wajah Yunika, ”Memberi tahu aku, tidak perlu menjadi sempurna untuk bisa enak – atau bagus – dan disukai.”
“Hah? Maksud kamu apa sih, Ren? Penjelasan kamu itu justru ngebuat aku tambah bingung, tahu,” protes Yunika, wajah protesnya begitu lucu sampai tawaku keluar begitu saja.
“Intinya, aku bisa membuat naskah pidato yang bagus untuk lomba itu berkat kamu dan ini,” jawabku, masih menahan geli, sambil mengangkat dan menggoyangkan coklat SilverQueen yang masih ada di tanganku sekali lagi di depan wajah Yunika, lalu menyodorkan coklat itu pada Yunika. 
“Dan ini untuk kamu."
“Oh, akhirnya dikasih juga. Kirain hanya untuk disombongin ke aku aja,” jawab Yunika setelah dia merebut coklat itu dari tanganku dengan cepat, lalu tersenyum jahil padaku.
Dan tiba-tiba, ada tangan gemuk yang terulur di antara aku dan Yunika.
“Untuk aku mana?” protes suara itu, yang tak lain dan tak bukan milik Dias, teman sebangkuku yang gemuk.
“Ketinggalan, di tokonya,” jawabku sekenanya,  antara kesal dan merasa bersalah pada sahabatku itu. Selesai mengucapkan itu, aku langsung kabur ke kantin, satu-satunya tempat aku bisa berdamai kembali dengan makhluk gemuk yang satu itu dengan cepat.
“Rendiiii!!! Tungggu!!!” teriak Dias, dekat di belakangku.

“Kamu menunjukkan ke aku kalau menjadi diri sendiri tanpa memedulikan pendapat orang lain itu penting, dan coklat ini memberi tahu aku, tidak perlu menjadi sempurna untuk bisa bagus dan disukai.”

*sebuah kisah yang terinspirasi dari cerita seorang sahabat dan sekumpulan orang-orang ‘ajaib’*

~swt”~

Wednesday, July 31, 2013

Poem : Goodbye Past, Hello Future


Goodbye Past, Hello Future

Thought the hero has emerged, but he is not.
No, he isn’t a hero,
He is just a fool;
A fool who have lingers in his heart.

But, life must go on.
The adventure is yet to  complete,
And the story has not reached its end just yet.
So, goodbye is not an option.

It’s a choice I have to take.
A word I got to  say;
For a dream that must be achieved,
And for the future that holds that dream.

I look forward;
I move forward.
Say goodbye to the past,
And hello to the future.

~swt”~