HALO!!!
Perkenalkan, namaku Rendi Ferdinand. Sekarang, aku duduk di kelas 3-1 di
SMP Negeri 1 Tanah Merah .
Kalau kalian belum tahu, Desa Tanah Merah adalah satu dari sekian banyak
desa kecil yang ada pada Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Bersama
dengan Desa Kuala Enok di sebelahnya, dengan sebuah jembatan besi yang
menjembatani sungai air asin pemisah mereka, desa ini lebih dikenal sebagai
Desa Kuala Enok, Kecamatan Tanah Merah. Dan, mungkin karena jarak mereka yang
benar-benar dekat, beberapa desa kecil yang letaknya ada di sekitar Muara Enok
juga dikenal sebagai bagian dari Desa Kuala Enok.
Dari desa ini, kalian bisa naik speedboat selama satu jam untuk sampai ke
Tembilahan, ibukota dari Kabupaten Indragiri Hilir, untuk selanjutnya naik
mobil selama tujuh sampai delapan jam perjalanan untuk sampai ke Kota
Pekanbaru, ibukota dari Provinsi Riau.
Mengenai jumlah penduduk, mata pencaharian utama, dan lain-lain, akan
kutanyakan pada Bu Laila, guru Geografi kami, jika kalian ingin mengetahuinya.
Tapi, menceritakan semua itu akan menggunakan semua tempat yang diperlukan
untuk menceritakan kisahku ini, sementara kisahku ini bukanlah tentang kampung
halamanku. Jadi, mari kita bahas pada kesempatan lain saja. Oke?
Sebaliknya, kisahku ini berhubungan erat dengan SilverQueen, sebuah merek
coklat ternama yang – bersama dengan seorang gadis ajaib – akan segera merubah
pandanganku akan dunia; sebuah merek coklat yang diidam-idamkan oleh gadis yang
begitu sempurna di mataku, yang sayangnya tidak dijual sini.
Ya, SilverQueen, coklat mahal dengan kacang metenya yang enak.
SilverQueen, merek coklat yang paling sering kita temui di iklan-iklan
televisi. Dulu, coklat bermerek terkenal itu memang pernah dijual di sini, tapi
mungkin karena sedikitnya pembeli yang dikarenakan harganya yang cukup mahal,
merek coklat itu tak pernah terlihat lagi di sini.
Yah, sebenarnya aku tidak akan mempermasalahkan hal itu, seandainya saja
Yunika tidak pernah mengatakan kalau sudah lama dia suka dengan coklat bermerek
SilverQueen. Dan mengapa ucapan Yunika itu bisa begitu penting?
Jawabannya, karena Yunika adalah gadis paling unik di Desa Kuala Enok,
yang sempat kusinggung tadi. Yunika itu cantik, periang, dan…tentu saja, unik;
sama seperti namanya, ‘unique’.
“Desa Tanah Merah adalah satu dari sekian banyak desa kecil yang
ada pada Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Bersama dengan Desa Kuala
Enok di sebelahnya, dengan sebuah jembatan besi yang menjembatani sungai air
asin pemisah mereka, desa ini lebih dikenal sebagai Desa Kuala Enok, Kecamatan
Tanah Merah.”
Prit! Prit! Prit, prit, prit!
Bunyi peluit yang menggemakan
komando ‘Kiri! Kiri! Kiri, kiri, kiri!’ kepada anggota gerak jalan yang ditiup
Yunika menggema di lingkungan di sekitar sekolah, memberi kesempatan kepada aku
dan teman-temanku di SMP Negeri 1 Tanah Merah untuk beristirahat sejenak dari
kejenuhan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Sementara pasukan gerak jalan
sekolah kami yang sedang berlatih untuk lomba menjelang hari kemerdekaan lewat
di jalan di dekat kelasku diiringi dengan suara peluit mereka, perhatianku
tertuju kepada pemimpin pasukan gerak jalan perempuan yang terus meniup
peluitnya; mengabaikan hujan keringat yang membasahi wajahnya di bawah naungan
topi sekolah yang dia pakai.
Si cantik juara dua umum ini
sebenarnya berkulit putih. Tapi, karena belakangan ini dia sibuk latihan gerak
jalan di bawah sinar matahari yang terik, kulit putihnya itu mulai berubah menjadi
agak kecoklatan. Tapi, justru warna coklat itu membuatnya terlihat lebih manis
daripada sebelumnya.
Manis, pintar, dan cantik dengan wajahnya yang menurut teman-temanku terlalu
biasa. Tapi, bagiku, tetap Yunika yang paling cantik di seluruh desa ini.
Ah… Mungkin ini, ya, yang
orang-orang bilang sebagai cinta? Tak peduli walau dia bukan yang nomor satu,
di hati ini, hanya dia yang paling sempurna.
Silver Queen…
Yunika…
“Ah… Mungkin
ini, ya, yang orang-orang bilang sebagai cinta? Tak peduli walau dia bukan yang
nomor satu, di hati ini, hanya dia yang paling sempurna.”
“Ren… Rendi!”
Panggilan Dias, teman sebangkuku
yang berwajah bulat dan berkaca mata, disertai dengan dorongan-dorongan keras
tangannya yang gemuk pada bahuku, menyadarkanku dari lamunanku tentang Yunika.
“Hah? Ada apa, Yas?” sahutku
kaget.
“Ada yang panggil kamu di
depan,” jawab Dias sok misterius, sambil menganggukkan kepalanya ke arah pintu
kelas yang terletak di bagian depan kelas.
Mataku mengikuti arah anggukan
kepala Dias ke pintu kelas, dan dengan ngeri melihat kalau di samping Bu Laila,
guru Geografi kami yang kecil, polos, dan berkacamata, berdirilah sosok guru Bahasa
Indonesia kami yang tinggi dan tegap, lengkap dengan rambut pendek khas tentara
dan wajah penuh bekas jerawatnya.
Dan, yang lebih mengerikan lagi
adalah fakta bahwa Pak Arifin, guru kami yang mirip anggota tentara itu, sedang
menatap lurus kepadaku. Aku menelan ludah, pasrah jika ternyata aku tertangkap
basah sedang melamun di tengah kelas Bu Laila.
“Rendi Ferdinand,” suara Pak
Arifin yang super ngebass itu memanggil namaku; nada suaranya tenang, tapi
berbahaya. Dan, dari reaksi teman-teman sekelasku, aku yakin ini bukan
panggilannya yang pertama.
“I-iya, Pak?” aku menyahut
dengan gugup; keringat dingin mulai membasahi wajahku.
“Ikut saya ke ruangan kepala
sekolah!” perintah Pak Arifin, matanya masih menatap tajam kepadaku.
Dengan pasrah dan diikuti oleh
tatapan mata penuh rasa kasihan dari teman-teman sekelasku, aku berjalan ke
arah pintu, dan kemudian mengikuti Pak Arifin ke ruangan kepala sekolah.
Tidak ada yang bisa menyalahkanku jika mereka melihatku berjalan di
belakang Pak Arifin dengan wajah murung, karena semua murid SMP Negeri 1 Tanah
Merah tahu bahwa semua murid yang dipanggil oleh guru yang satu itu telah
melakukan sebuah kesalahan, baik berat maupun ringan. Dan, tentu saja, mereka
semua dipanggil untuk dihukum.
Tapi, apa yang telah kulakukan
sampai harus dipanggil oleh guru ini? Karena terlambat tadi pagi? Karena
ketahuan mencontek PR Geografi tadi pagi?
Tidak, tidak. Biasanya Pak
Arifin tidak pernah mengurus hal-hal sekecil itu, kecuali jika PR yang ketahuan
itu adalah PR yang dia berikan sendiri.
Dengan benakku dipenuhi dengan
pertanyaan mengenai kesalahan apa yang kira-kira telah membuat Pak Arifin memanggilku
– dan ke ruangan kepala sekolah, tak kurang dari itu – kami sampai di ruangan
kepala sekolah yang tidak terkunci.
Begitu melihat kami datang,
kepala sekolah kami langsung membereskan surat-surat yang sedang dikerjakannya
dan mempersilakan kami masuk dan duduk di kursi berbantalan empuk di sisi lain
mejanya.
“Jadi, ini anak yang Pak Arifin
bilang tadi?” Pak Juhari, kepala sekolah kami itu, bertanya kepada Pak Arifin.
Dan, tanpa menunggu jawaban dari Pak Arifin, Pak Hari langsung bertanya kepadaku
sambil tersenyum ramah,
“Rendi Ferdinand, ya?”
“I-iya, Pak,” aku menjawab
kikuk, dan menyambut uluran tangan Pak Hari.
“Kata Pak Arifin, kamu suka
sastra? Termasuk sastra Indonesia?” tanya Pak Hari lagi.
“I-iya, Pak,” jawabku lagi;
masih kikuk, karena selama lebih dari dua tahun di SMP ini, baru kali ini aku
berhadapan langsung dengan kepala sekolah kami ini.
“Jadi, kamu mau mewakili sekolah
kita untuk mengikuti lomba pidato di Tembilahan?” Pak Hari bertanya lagi padaku.
Mendengar pertanyaan itu dari
kepala sekolahku, tentu saja aku terkejut. Apalagi, yang tadi memanggil dan
membawaku ke sini adalah Pak Arifin, guru paling killer satu sekolah. Jadi, reaksi spontanku adalah membuka mulutku
dan mengucapkan,
“Ha?”
Melihat reaksiku, Pak Hari
tersenyum maklum sambil melirik Pak Arifin – yang ekspresinya masih sedingin
biasa – seolah dia bisa menduga akan terjadi hal seperti ini.
“Begini, Rendi; hari senin
nanti, aka nada lomba pidato tingkat kabupaten di Tembilahan, dan sebagai guru
Bahasa Indonesia senior di SMP kita, Pak Arifin merekomendasikan kamu untuk
mewakili sekolah kita pada lomba itu,” jelas Pak Hari. “Tapi, tentu saja, itu
hanya kalau kamu mau.”
“Eh… saya?” tanyaku tak percaya,
menatap wajah Pak Hari, lalu Pak Arifin, yang membalas tatapan penuh tanyaku
dengan ekspresi dinginnya yang biasa.
“Kalau kamu tidak percaya sama
kemampuan kamu sendiri, saya bisa menunjuk Hendi Ciptawan untuk mewakili
sekolah kita.” Pak Arifin menjawab dengan nada bosan, seolah-olah dia sudah
tahu aku akan bereaksi seperti ini.
“Eh… Hendi?” aku bertanya tak
percaya lagi.
“Iya, Hendi,” jawab Pak Arifin lagi, masih dengan
nada penuh kebosanan yang sama.
“Hendi yang ketua OSIS tahun
lalu? Yang puisi-puisinya selalu dipajang di mading waktu kelas dua kemarin?”
tanyaku lagi, menolak untuk percaya kalau Hendi yang dimaksudkan Pak Arifin dan
Hendi yang kupikirkan adalah Hendi yang sama.
“Memangnya ada berapa Hendi
Ciptawan di sekolah kita?” Pak Arifin balik bertanya, masih dengan nada
bosannya yang sama, walaupun kali ini dengan alis mata kanannya yang terangkat
penuh ancaman.
“Yah, siapa tahu saja ada anak
yang tidak saya kenal yang namanya sama dengan Hendi,” jawabku putus asa,
sebelum aku menyadari bahaya yang dihadirkan oleh alis Pak Arifin yang
terangkat dan langsung menutup mulutku rapat-rapat.
“Jadi, bagaimana, Rendi? Kamu
mau mewakili sekolah kita untuk lomba pidato itu?” akhirnya Pak Hari bertanya
lagi padaku, setelah puas tersenyum melihat percakapanku dengan Pak Arifin.
Ditanya begitu oleh Pak Hari
yang selalu penuh kharisma, aku memikirkannya baik-baik.
Pergi ke Tembilahan untuk
mengikuti lomba pidato yang asing bagiku tidak terdengar menyenangkan sama
sekali, tidak peduli seberapa besar rasa sukaku pada sastra dan mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Tapi, kalau aku tidak
pergi, kesempatan ini akan diberikan kepada Hendi.
Benar, Hendi. Dari sekitar lima
ratus lima puluh siswa di sekolah ini, yang akan mendapatkan kesempatan langka
ini jika aku menolaknya adalah satu-satunya makhluk yang menunjukkan rasa tertarik
yang besar pada Yunika. Dengan kata lain, saingan cintaku.
Hal itu terlihat jelas dari
puisi-puisi romantis Hendi yang dipajang di mading sekolah sepanjang kelas dua
kemarin; Hendi dengan sangat jelas menyiratkan kalau puisi-puisi itu
didedikasikan untuk Yunika.
Aku bisa membayangkan seberapa
besar jadinya kepala Hendi sepulangnya dia dari lomba itu, dan seberapa besar
kemungkinan Yunika yang memang sudah mengagumi Hendi sebagai ketua OSIS dan
atlet bulu tangkis yang berbakat akan semakin mengaguminya.
Apalagi kalau sampai Hendi
membelikan coklat SilverQueen sebagai oleh-oleh untuk Yunika; entah karena
kebetulan, atau karena Yunika juga pernah menceritakan hal itu pada Hendi.
Tidak, tidak. Aku tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, batinku,
sementara kepalaku kugelengkan ke kiri dan ke kanan; membuat Pak Hari tersenyum
geli.
“Oke, Pak, saya mau!” jawabku
penuh tekad kepada Pak Hari.
“Oke kalau begitu,” kata Pak
Hari, masih tersenyum. “Besok pagi kamu akan berangkat dengan Pak Arifin; dan
nanti sore, Pak Arifin akan membantu kamu menyusun pidato untuk lomba nanti,
sekaligus untuk meminta izin orangtua kamu. Ini surat permohonan izin orangtua
untuk orangtua kamu isi, serahkan pada Pak Arifin waktu dia ke rumah kamu nanti
sore,” lanjut Pak Hari, sambil memberikan sebuah amplop berlogo sekolah kami.
Setelah itu, Pak Hari dan Pak
Arifin membahas masalah transport, makan, dan tempat tinggal untuk Pak Arifin
dan aku untuk keperluan lomba itu. Sementara aku? Aku belum disuruh
meninggalkan kepala sekolah. Jadi, aku membuka surat permohonan izin orangtua
itu sambil menunggu mereka selesai. Lalu, aku sadar kalau aku sudah melupakan
satu hal penting dalam lomba pidato itu : tema.
“Pak, lomba pidatonya ada tema,
‘kan? Apa temanya?” tanyaku spontan, langsung kepada Pak Hari.
“Oh, iya, tema,” sahut Pak Hari,
meninggalkan kalimatnya yang tadi sedang diucapkannya; jelas telah benar-benar
melupakan masalah tema ini. “Tema untuk lomba pidato kali ini adalah ‘Aku cinta
Indonesia.’”
“Eh… ‘Aku cinta Indonesia’? Cuma
itu?” aku bertanya putus asa; sudah pasti aku tidak akan bisa membawakan topik
itu dengan baik.
“Kenapa? Sekarang kamu mau
bilang kalau kamu tidak bisa?” kali ini, Pak Arifin benar-benar mengejekku;
baik dari nada suaranya maupun dari mimik wajahnya.
Cukup sudah, batinku. Menantang
aku? Siapa takut!
“Tidak,” jawabku tegas,
memandang lurus pada Pak Arifin “’Aku cinta Indonesia’? Siapa takut?”
“Oh, saya benar-benar cinta Indonesia,” aku menambahkan,
memberikan tekanan pada kata ‘cinta’ dalam luapan emosiku, dalam usahaku untuk
menyindir guruku yang sombong ini.
“Pak Arifin, masih ada yang mau
bapak sampaikan pada Rendi?” tanya Pak Hari, menggunakan kharismanya sepenuhnya.
Hal itu berhasil mencegah pertikaian yang hampir timbul antara aku dan Pak
Arifin.
“Kamu coba buat sendiri dulu
naskah pidatonya sebelum saya ke rumah kamu sore nanti,” jawab Pak Arifin
serius.
“Baik, Pak,” aku menjawab kaku.
“Oke. Rendi, kamu boleh kembali
ke kelas sekarang. Dan kalau bisa, langsung coba buat saja naskah pidatonya,”
Pak Hari berkata lembut padaku, wajahnya menyunggingkan senyum kebapakan.
“Semoga sukses ya, Ren,” tambah Pak Hari, sambil mengulurkan tangan kanannya
padaku.
“Terima kasih, Pak,” jawabku,
menjabat tangan Pak Hari yang terulur.
Setelah itu, aku keluar dari
ruangan kepala sekolah, ke pelataran kantor kepala sekolah yang sudah dipenuhi
murid-murid yang lalu-lalang di jam istirahat. Begitu keluar, aku langsung
kembali ke kelasku, dan melihat Yunika sudah duduk di tempat duduknya di
barisan depan kelas; tangannya sibuk menyalin catatan Geografi yang tadi tidak
dia ikuti karena latihan gerak jalan.
“Ka, gimana latihan tadi,
lancar?” aku bertanya, langsung duduk di bangku di sebelah Yunika yang sedang
kosong.
“Hai, Ren. Lumayan, anak-anak
sudah lumayan kompak sekarang,” jawab Yunika, mengangkat penanya dari buku
catatannya. “Eh, Ren, tadi kamu dipanggil sama Pak Arifin, ya? Kenapa?”
“Iya, aku disuruh ikut lomba
pidato di Tembilahan hari senin nanti,” jawabku. “Mau kubelikan sesuatu di sana?”
aku bertanya, walaupun aku sudah cukup yakin apa jawabannya.
“SilverQueen?” aku bertanya,
lalu langsung tertawa bersama Yunika, karena dia menjawab barang yang sama pada
saat yang sama dengan pertanyaanku.
“Ga ada yang lain?” tanyaku, hanya untuk menggoda gadis di sebelahku
itu.
“Ngga, itu aja,” jawabnya.
Pada saat itu, aku mengalihkan
pandanganku ke pintu kelas. Dan yang kulihat saat itu tidak membuatku senang;
Dias yang sedang tersenyum jahil melihat aku duduk di sebelah Yunika.
“Eh, Ka, ada paparazzi haus
gosip yang datang; aku cabut dulu ya,” pamitku, berdiri lalu berbalik untuk
melihat Yunika.
"Oke. Sukses, ya, Ren,” sahut
Yunika, sambil memberiku senyum manis khas Yunikanya. “Kamu pasti bisa,” kata
Yunika lagi, sambil mengepalkan tangan di depan dadanya.
Disemangati begitu oleh Yunika,
mau tidak mau, aku yang sudah kalah sebelum berperang merasa yakin bisa membuat
pidato bertemakan ‘Aku cinta Indonesia’ yang akan memesona para juri dan
hadirin di lomba nanti.
“’Makasih, Ka,” jawabku, senyumku
terkembang penuh semangat. Setelah itu, aku berjalan ke tempat dudukku di sebelah
Dias yang sudah memasang wajah jahilnya.
“Disemangati begitu oleh Yunika, mau tidak mau, aku yang sudah
kalah sebelum berperang merasa bisa membuat pidato bertemakan ‘Aku cinta
Indonesia’ yang akan memesona para juri dan hadirin di lomba nanti.”
Siang itu, aku mencoba membuat
naskah pidato untuk lomba pidato itu setelah mempersiapkan barang-barang yang
kuperlukan; barang-barang yang Pak Arifin cantumkan dalam catatan yang dia berikan
padaku sebelum pulang sekolah tadi. Tapi, seperti yang sudah kuketahui, “Aku
cinta Indonesia” bukanlah topik yang kukuasai, karena aku tidak pernah
mencintai negara ini sama sekali.
Serius,
aku? Cinta Indonesia? Tidak mungkin.
Indonesia,
yang begitu rasis dan agamis terhadap penduduk-penduduk minoritasnya?
Indonesia, dengan pejabat-pejabat pemakan uang rakyatnya? Ada begitu banyak
alasan bagiku untuk membenci negara ini, terutama karena aku sendiri termasuk
dalam bagian penduduk minoritas.
Tapi,
meskipun begitu, aku masih mencobanya, walaupun hal itu murni kulakukan hanya
karena rasa hormatku pada Pak Juhari. Bahkan, aku sampai mencoba mengembangkan
beberapa naskah dari kutipan-kutipan nasionalis dari berbagai tokoh terkenal
yang akhirnya hanya hanya kuberi tanda-tanda silang besar pada halaman-halaman
kertas itu. Begitu juga dengan naskah-naskah yang kucoba buat dari lagu-lagu
nasional, semuanya berakhir dengan tanda silang besar di atasnya.
Dan, itulah yang kulakukan
saat Pak Arifin datang ke rumahku sekitar jam empat sore, hanya untuk
memberitahukan keikutsertaanku pada lomba pidato itu sekaligus meminta izin
pada orangtuaku secara langsung. Ada urusan keluarga, katanya, jadi beliau
belum bisa membantuku menyusun naskah pidato hari itu.
Melihat punggungnya yang berjalan
menjauh dengan santai, aku – yang sudah tidak tahu harus bagaimana lagi selain
menggantungkan harapanku pada guru yang dari awal memang tidak pernah kusukai
itu – marah dan kecewa; bisa-bisanya dia melepaskan tanggung jawabnya untuk
membantuku dengan memberiku alasan murahan seperti itu?
Aku begitu marah dan kecewa,
jadi aku langsung memasukkan buku dan pena yang dari tadi kugunakan untuk
mencoba membuat naskah pidato itu ke dalam ranselku yang telah diisi dengan
pakaian dan juga keperluan-keperluanku yang lain untuk waktu dua hari di
Tembilahan, dan mengambil dan melanjutkan membaca novel keempat Harry Potter
yang baru kubaca sebagian.
“Melihat punggungnya yang berjalan menjauh dengan santai, aku –
yang sudah tidak tahu harus bagaimana lagi selain menggantungkan harapanku pada
guru yang dari awal memang tidak pernah kusukai itu – marah dan kecewa;
bisa-bisanya dia melepaskan tanggung jawabnya untuk membantuku dengan memberiku
alasan murahan seperti itu?”
Keesokan paginya, Pak Juhari,
yang akan mengantar keberangkatan kami, datang menjemputku ke pelabuhan Syahbandar,
pelabuhan utama di desa kami. Setelah itu, aku dan Pak Arifin menghabiskan
waktu satu jam kami di dalam speedboat yang membawa kami ke Kota Tembilahan
dalam diam.
Keadaan itu terus berlanjut
sampai saat kami makan siang di dekat pelabuhan Tembilahan, saat aku memulai
percakapan mengenai naskah pidato itu di tengah makan siang kami; aku terlalu bosan
dan kesal dengan sikap acuh tak acuh Pak Arifin yang begitu menyebalkan.
“Pak, bagaimana dengan naskah
pidato kita? Saya tidak tahu apa yang mau ditulis,” tanyaku, sambil fokus memainkan
nasiku dengan sendok – terlalu marah untuk merasa lapar, apalagi melihat
langsung ke wajah Pak Arifin.
“Naskah pidato? Memangnya ada
apa dengan naskah pidato kita?” tanya Pak Arifin, sendoknya yang sudah berisi
nasi dan sedikit lauk diletakkan kembali ke piringnya. “Kamu tidak bisa buat
naskah pidato?” Pak Arifin bertanya lagi, lalu memasukkan nasi dalam sendok itu
ke mulutnya dan melanjutkan makan dengan santainya.
“Saya tahu cara membuat naskah
pidato,” geramku. “Yang tidak saya ketahui adalah cara membuat naskah pidato bertemakan
‘Aku cinta Indonesia’, sementara saya membenci Indonesia,” lanjutku, mengatakan
yang sebenarnya.
“Oke, kamu tidak cinta
Indonesia,” Pak Arifin menjawab tenang, lalu meminum es teh manisnya sebelum
bertanya balik padaku, “Dengan kata lain, kamu membenci Indonesia. Apa yang
membuat kamu membenci Indonesia?”
“Karena orang-orang sok agamis
dan rasis yang bersikap seolah negara ini milik mereka, dan kaum minoritas
hanyalah penghuni tidak diharapkan di negara ini. Karena pejabat-pejabat
pemakan uang yang mendominasi pemerintahan, mulai dari yang tertinggi sampai
yang terkecil,” jawabku marah, wajah dan mataku terasa panas karena menahan emosi.
Dan karena orang-orang dingin seperti bapak,
tambahku marah, tapi hanya dalam hati.
“Oke.
Jadi, apa pendapat kamu soal Pak Juhari?” tanya Pak Arifin lagi, membuatku
bingung dengan pertanyaannya yang menurutku tidak berhubungan dengan topik yang
sedang kami bicarakan. Tapi, antara bingung dan penasaran, aku tetap menjawab
pertanyaan itu,
“Pak
Juhari orangnya ramah, berkharisma, dan cocok menjabat sebagai kepala sekolah,”
jawabku jujur.
“Lalu,
apa pendapat kamu terhadap guru-guru di sekolah kita? Terhadap teman-teman
kamu? Tetangga-tetangga kamu?” tanya Pak Arifin lagi, membombardirku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang membuatku semakin bingung, sementara dia menatapku
dengan tajam dengan tangannya yang dijalin dan disandarkan di atas meja.
Aku
terdiam, berpikir sebentar sebelum aku menjawab pelan, tidak yakin apakah
jawabanku benar,
“Walaupun
ada di antara mereka yang menjengkelkan dan membuat saya benci pada mereka,
tapi yang lain lumayan baik, dan ada beberapa yang sangat baik dan enak
dijadikan teman,” jawabku.
“Lalu,
bagaimana pendapat kamu terhadap alam raya Indonesia dan keragaman di dalamnya?
Terlalu banyak? Membosankan?” Pak Arifin bertanya lagi, masih menatapku dengan
tajam.
“Ha?
Maksud bapak?” aku bertanya tak mengerti.
“Ya,
apakah kamu juga tidak suka dengan kekayaan alam kita, termasuk flora dan
fauna, juga tempat-tempat wisata dan bersejarah kita?” jelas Pak Arifin.
“Hmm…”
aku berpikir sebentar, lalu menjawab, “Hal-hal itu, kalau menurut saya, justru merupakan
hal yang membuat Indonesia menjadi menarik, karena sangat beragam. Begitu juga
dengan tempat-tempat wisata dan bersejarah kita; tempat-tempat itu tidak hanya
indah, tapi juga menunjukkan kalau negara kita ini kaya akan bukti kejayaan
dari berbagai masa dan aliran yang begitu berbeda.
“Dan,
semua itu membuat Indonesia berbeda dari negara-negara yang lain; yang
membuatnya istimewa.”
"Bagaikan
berbagai aliran air yang berbeda, yang pada akhirnya akan menjadi satu di laut
lepas,” ucap Pak Arifin, membuatku terpukau oleh kata-katanya yang sarat akan
makna.
“Lalu, apakah kamu masih
membenci Indonesia?” tanya Pak Arifin serius, matanya menatap langsung ke
mataku.
Entah
mengapa, rentetan pertanyaan dari Pak Arifin yang diakhiri dengan pertanyaannya
tentang rasa benciku pada Indonesia membuat bayangan Yunika melintas dalam
benakku, diikuti dengan perasaan tidak puasku pada diriku sendiri, dan diakhiri
dengan coklat pesanan Yunika, SilverQueen.
Yunika…
Gadis itu begitu hidup karena rasa cintanya pada diri sendiri; pada segala
kelebihan dan kekurangannya. Dan, hal itulah yang membuatku begitu
mengaguminya, dengan harapan agar suatu saat nanti, aku bisa sehidup gadis unik itu.
Dan
Silver Queen… Gelar itu terasa begitu tepat untuk menggambarkan sosok Yunika;
Bagi
sebagian besar orang, emas adalah logam paling mulia, dan perak, silver, akan
selalu menjadi nomor dua jika dibandingkan dengan emas. Tapi, meskipun tidak
sesempurna emas, perak tetap indah dengan caranya sendiri, dan tidak sedikit orang
yang tertarik oleh keindahannya yang unik itu.
Dan,
begitu jugalah keadaan Indonesia; meskipun ada begitu banyak kekurangan di
dalamnya, secara keseluruhan, negara ini tetap indah dengan caranya sendiri.
Menyadari
hal itu, aku langsung mengeluarkan pena dan buku coretku dari dalam ransel dan
menuliskan sebuah kalimat dalam tanda kutip di dalamnya sebelum makan dengan
lahap,
Aku Cinta Indonesia, negaraku yang unik.
“Lalu, apakah kamu masih membenci Indonesia?”
Siang itu, aku langsung mengerjakan naskah
pidatoku – yang mengambil topik pembicaraan aku dan Pak Arifin saat makan siang
– begitu kami sampai ke penginapan tempat kami akan menginap malam itu.
Aku mengerjakan naskah itu
sampai sekitar hampir tengah malam; karena aku memutuskan untuk menuliskan
versi yang lebih rapi setelah memenuhi naskah yang kubuat dengan berbagai
coretan perbaikan. Begitu selesai, aku langsung tidur, sementara Pak Arifin
masih membaca koran yang tadi dibelinya saat dia membeli makan malam.
Malam
itu, tidurku sangat nyenyak walaupun aku tidur di tempat yang asing dan
ditemani guru paling galak di sekolahku. Dan sepertinya malah terlalu nyenyak,
karena Pak Arifin menggerutukan aku yang susah dibangunkan saat dia berhasil
membangunkanku jam enam lewat seperempat keesokan paginya. Setelah
membangunkanku, kulihat Pak Arifin yang sudah memakai baju dinasnya langsung
sibuk dengan kertas doublefolio, pena, dan sobekan kertas yang kupakai untuk
menuliskan salinan naskah pidatoku yang rapi. Tapi, karena takut dimarahi dan
takut terlambat, aku langsung mandi dan tidak menanyakan apa-apa pada Pak Arifin.
Saat
kami sampai di SMP Negeri 1 Tembilahan hampir dua jam kemudian, kami langsung
mendaftarkan diri pada meja panitia di depan ruang serbaguna; tempat lomba
pidato itu akan dilaksanakan. Di tengah proses pendaftaran, aku dibuat kaget
oleh pihak panitia yang melayani kami saat dia meminta salinan pidatoku. Dan
saat Pak Arifin malah memberikan kertas doublefolio yang sama dengan yang kulihat saat aku baru bangun,
aku semakin kaget; ternyata, itulah yang sedang dikerjakan oleh Pak Arifin
tadi, menyalin naskah pidatoku untuk diberikan kepada pihak penyelenggara
lomba.
Setelah
itu, panitia yang sama memberikanku nomor urut yang akan menentukan urutan
peserta yang akan maju dan membacakan pidato masing-masing – aku mendapatkan
nomor sepuluh. Lalu, aku mengikuti Pak Arifin memasuki ruang serbaguna yang
sudah mulai penuh.
Sementara aku mengikuti Pak
Arifin ke kursi di deretan tengah, aku memerhatikan kalau sebagian besar
peserta yang sudah datang sedang membaca dan menghapal naskah pidato mereka
yang tercetak rapi pada lembar-lembar kertas HVS. Melihat pemandangan ini, aku
menyadari sesuatu dan langsung melihat kepada Pak Arifin yang berada di depanku
– yang tidak menyadari tatapanku karena sedang melihat ke depan – dan tersenyum
kagum.
Kertas-kertas
HVS itu menunjukkan sesuatu padaku, dan hal itu adalah fakta bahwa sebagian
besar naskah-naskah pidato yang nanti akan dilombakan dibuat oleh guru-guru
dari sekolah-sekolah yang mengirimkan murid-murid mereka untuk mengikuti lomba
ini, sementara murid-murid mereka itu hanya perlu fokus pada pembacaan
pidatonya. Sementara aku, aku membuat naskah pidatoku sendiri, dan itu karena
Pak Arifin bersikeras agar aku membuatnya sendiri.
Bagaimana
Pak Arifin bisa yakin kalau aku bisa membuat naskah pidato yang bagus tanpa
bantuan? Seyakin itukah Pak Arifin pada kemampuanku?
Dan
percakapan kami saat makan siang semalam dan kejadian tadi pagi terbayang lagi
olehku; Pak Arifin sudah tahu sebelumnya kalau aku tidak menyadari rasa cintaku
pada Indonesia sebelum kukatakan padanya, dan Pak Arifin juga tidak memprotes
soal isi naskah pidato yang telah kubuat. Bagaimana? Bagaimana Pak Arifin bisa
yakin bahwa aku bisa melakukannya? Dan, fakta bahwa Pak Arifin tidak memprotes
isi naskahku sama sekali membuktikan bahwa menurut Pak Arifin, isi naskah
pidato yang kubuat itu sudah lumayan bagus.
Menyadari
hal-hal itu, mau tak mau aku merasa kagum pada guru yang selama ini hanya
kukenal sebagai guru paling galak satu sekolah itu. Kagum, pada rasa percayanya
murid yang selama ini selalu diperlakukannya seperti musuh bebuyutan, dan juga
pada caranya mengarahkanku membuat naskah pidato itu. Mungkin, masih ada banyak hal yang belum
diketahui dari seorang guru Bahasa Indonesia bernama Arifin Sudibyo.
Tepat
pada pukul sembilan, seorang panitia wanita yang berbakaian seperti seragam
resmi guru lengkap dengan jilbabnya naik ke atas panggung dan memberikan ucapan
selamat datang dan sedikit peraturan tentang lomba yang akan dilaksanakan. Setelah
itu, dia menantang para peserta lomba untuk maju secara sukarela, sebelum
dipanggil maju oleh panitia sesuai dengan kertas berisikan nama peserta dan
asal sekolah – yang telah dikumpulkan dalam sebuah kotak – yang diambil secara
acak oleh panitia.
Panggilan
pertama. Para peserta – termasuk aku – sibuk melihat peserta-peserta yang lain;
yang memiliki teman berbisik dengan teman-temannya.
Panggilan
kedua. Peserta-peserta lain mulai tenang dan melihat lurus ke Ibu MC di depan,
sementara aku teringat pada perkataan seorang guru yang pernah mengikuti
lomba-lomba yang mengharuskannya menunggu giliran seperti ini;
"Kalau saya, saya lebih suka cepat maju dan
cepat selesai,” katanya waktu itu,
“Karena biasanya saya jadi cemas dan deg-degan sendiri kalau menunggu terlalu
lama.”
Panggilan ketiga. Aku mengangkat tangan
kananku ke udara dengan sangat perlahan – masih ragu apakah aku melakukan
tindakan yang tepat.
“Ya,
peserta di deretan tengah yang duduk di sebelah bapak yang duduknya tegap itu,”
kata Ibu MC itu, tangannya menunjuk lurus ke arahku.
Aku
bisa merasakan kehebohan yang diakibatkan panggilan itu; semua orang dalam
ruangan itu melihat ke arahku – kumpulan peserta dan pendamping di deretan
depan berbalik untuk melihatku dengan penasaran. Dan aku juga bisa merasakan
lonjakan kaget Pak Arifin yang hampir tak terlihat di sebelahku.
Dengan
langkah-langkah penuh ragu, aku sampai ke atas panggung, setelah sempat
diingatkan untuk membawa naskah pidatoku oleh Ibu MC. Dan setelah dipersilakan
oleh Ibu MC, aku memulai pidatoku dengan mic di tangan kiri dan naskah pidato
di tangan kananku.
“S-selamat
p-pagi, s-semua,” gagapku, lalu berhenti karena rasa takutku pada demam panggungku yang akut; begitu
parahnya sampai naskah pidato di tangan kananku bergetar dengan kuat.
Aku
menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mencoba melanjutkan.
“Yang t-terhormat bapak-i-ibu
p-panitia…” aku berhenti lagi, karena kali ini justru naskah pidatoku bergetar
semakin kuat, dan bukannya menghilang seperti yang kuharapkan. Dengan putus
asa, aku menatap ke sekeliling ruangan, yang dipenuhi murid-murid yang menahan
tawa dan terkikik geli serta guru-guru mereka yang terlihat bosan.
Saat aku tengah melakukan itu,
tatapanku bertemu dengan tatapan tajam mata Pak Arifin yang memancarkan rasa
yakin; tubuhnya tetap tegap, tidak menunjukkan rasa lemah sama sekali. Setelah
kami saling tatap selama sepersekian detik, Pak Arifin tersenyum meyakinkan dan
mengangguk pelan kepadaku.
“Saya yakin kamu bisa,” ucap tindakan Pak Arifin itu, walaupun aku
tidak tahu bagaimana aku bisa yakin akan hal itu.
Melihat itu, kepercayaan
diriku datang begitu saja padaku, dan aku balas menganggukkan kepalaku pertanda
yakin dan setuju padanya. Lalu, aku menurunkan tangan kananku yang memegang
naskah pidato ke samping tubuhku, dan langsung membahas isi pidatoku dengan lancar.
Saat aku mulai membacakan isi
pidatoku dengan penuh percaya diri, aku sempat terganggu dengan ekpresi geli
dari sebagian orang dalam ruangan itu, seperti aku telah melakukan kesalahan
konyol lagi. Tapi, semangatku terlalu menggebu untuk memusingkan masalah itu;
sampai saat aku selesai membawakan pidatoku, saat aku sadar akan kesalahan
konyol yang telah kulakukan tadi : aku telah melupakan salam, ucapan rasa
syukur, dan segala basa-basi pidato lain karena tadi aku terlalu termotivasi
oleh tatapan mendukung yang tidak biasa kudapatkan dari Pak Arifin.
Di penghujung hari itu,
keberanian dan kesalahan bodohku itu telah membuat hampir seluruh peserta dan
pembina lomba pidato itu memperkenalkan diri untuk memuji dan memperolokku.
Sisi positifnya? Daftar
temanku bertambah drastis, dan di setiap sekolah di Kabupaten Indragiri Hilir ini akan ada setidaknya satu guru yang mengingat ada satu murid dari SMP Negeri
1 Tanah Merah yang telah merusak pidatonya tepat saat murid itu berhasil
mengatasi demam panggungnya.
Hasilnya? Aku sukses
mendapatkan juara tiga dalam lomba itu; walaupun jika dilihat dari respon para
juri, peserta, dan juga pembimbing yang hadir dalam ruangan itu, aku yakin
seharusnya aku bisa mendapatkan juara satu; jika saja aku tidak melakukan
kesalahan konyol itu.
Dan, tiga batang coklat
SilverQueen yang kubeli untuk Yunika, aku sendiri, dan untuk Pak Arifin
mengakhiri kisah perjalananku untuk lomba pidato ini.
“Mungkin, masih ada banyak hal yang belum diketahui dari seorang
guru Bahasa Indonesia bernama Arifin Sudibyo.”
Keesokan paginya, Yunika sudah
duduk manis di belakang mejanya seperti biasa saat aku sampai di kelas.
“Pagi, Ka,” sapaku, setelah
berhasil sampai di depan meja Yunika tanpa dia sadari karena begitu seriusnya
dia belajar. “Ada ulangan apa hari ini, koq pagi-pagi sudah belajar?” sindirku.
“Hei,” sahutnya kaget,
mengalihkan pandangannya dari buku di mejanya kepadaku. “Gimana lombanya,
menang?”
“Juara tiga; berkat kamu,”
jawabku, tersenyum penuh arti kepada gadis manis di hadapanku itu sambil merogoh
ke dalam tasku, lalu mengeluarkan sebungkus SilverQueen dari dalamnya dan
memamerkannya di depan wajah Yunika yang kebingungan.
“Dan ini,” tambahku, tersenyum jahil kepada
Yunika.
“Hah? Koq bisa?” tanya gadis
unik itu kebingungan, membuatku tak bisa menahan senyum melihat wajahnya yang
penasaran.
“Kamu menunjukkan ke aku kalau
menjadi diri sendiri tanpa memedulikan pendapat orang lain itu penting, dan
coklat ini…,” aku menggoyang-goyangkan SilverQueen yang kupegang di depan wajah
Yunika, ”Memberi tahu aku, tidak perlu menjadi sempurna untuk bisa enak – atau
bagus – dan disukai.”
“Hah? Maksud kamu apa sih,
Ren? Penjelasan kamu itu justru ngebuat aku tambah bingung, tahu,” protes
Yunika, wajah protesnya begitu lucu sampai tawaku keluar begitu saja.
“Intinya, aku bisa membuat naskah
pidato yang bagus untuk lomba itu berkat kamu dan ini,” jawabku, masih menahan
geli, sambil mengangkat dan menggoyangkan coklat SilverQueen yang masih ada di
tanganku sekali lagi di depan wajah Yunika, lalu menyodorkan coklat itu pada
Yunika.
“Dan ini untuk kamu."
“Oh, akhirnya dikasih juga.
Kirain hanya untuk disombongin ke aku aja,” jawab Yunika setelah dia merebut
coklat itu dari tanganku dengan cepat, lalu tersenyum jahil padaku.
Dan tiba-tiba, ada tangan
gemuk yang terulur di antara aku dan Yunika.
“Untuk aku mana?” protes suara
itu, yang tak lain dan tak bukan milik Dias, teman sebangkuku yang gemuk.
“Ketinggalan, di tokonya,”
jawabku sekenanya, antara kesal dan
merasa bersalah pada sahabatku itu. Selesai mengucapkan itu, aku langsung kabur
ke kantin, satu-satunya tempat aku bisa berdamai kembali dengan makhluk gemuk
yang satu itu dengan cepat.
“Rendiiii!!! Tungggu!!!” teriak
Dias, dekat di belakangku.
“Kamu menunjukkan ke aku kalau menjadi diri sendiri tanpa
memedulikan pendapat orang lain itu penting, dan coklat ini memberi tahu aku, tidak
perlu menjadi sempurna untuk bisa bagus dan disukai.”
*sebuah kisah yang terinspirasi dari cerita
seorang sahabat dan sekumpulan orang-orang ‘ajaib’*
~swt”~